1. Latar Belakang Masalah
Dalam era digital yang serba cepat dan kompetitif, istilah “self reward” atau penghargaan terhadap diri sendiri semakin mendapatkan tempat di benak generasi muda, khususnya remaja dan dewasa awal. Praktik ini umumnya dilakukan setelah seseorang menyelesaikan aktivitas yang dianggap berat atau menguras emosi, seperti ujian, pekerjaan, atau menghadapi tekanan sosial. Self reward dianggap sebagai bentuk self-care yang sah dan penting untuk menjaga keseimbangan mental. Bentuknya beragam, mulai dari membeli makanan favorit, menikmati kopi kekinian, belanja daring, hingga melakukan staycation atau perawatan diri di salon dan spa.
Fenomena ini diperkuat oleh budaya media sosial yang menampilkan self reward sebagai gaya hidup yang ideal dan aspiratif. Ungkapan seperti “karena aku layak mendapatkannya” atau “hasil kerja keras harus dihargai” menjadi pembenaran normatif yang tersebar luas. Self reward kemudian menjadi semacam ritual modern yang tak hanya menandai keberhasilan, tetapi juga menjadi simbol dari pencapaian, ketangguhan, dan cinta diri. Namun, dalam praktiknya, fenomena ini kerap melampaui batas apresiasi diri dan menjelma menjadi perilaku konsumtif yang tidak terkendali. Self reward yang awalnya diniatkan sebagai bentuk penghargaan berubah menjadi pelampiasan emosional atau bahkan kompensasi dari tekanan hidup.
Dalam kehidupan remaja saat ini, tekanan datang dari berbagai arah—baik akademik, sosial, maupun eksistensial. Tuntutan untuk berprestasi, menjaga penampilan, dan memenuhi standar gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial menciptakan ruang tekanan yang tidak ringan. Dalam situasi demikian, self reward hadir sebagai bentuk pelarian atau bahkan strategi bertahan hidup. Akan tetapi, pergeseran makna dari penghargaan diri menjadi bentuk kompensasi konsumtif ini dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks, terutama dalam jangka panjang.
Berbagai survei menunjukkan peningkatan tren konsumsi impulsif di kalangan Gen Z dengan dalih self reward. Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden muda (usia 17–25 tahun) menganggap belanja daring sebagai cara efektif untuk mengurangi stres. Shopee Indonesia (2023) mencatat bahwa 43% pengguna dari kalangan Gen Z mengaku melakukan pembelian impulsif minimal satu kali dalam sebulan, dan motif utama yang disebutkan adalah “menghadiahi diri sendiri setelah bekerja keras atau mengalami tekanan”. Fakta ini menunjukkan adanya pergeseran fungsi konsumsi dari kebutuhan menjadi instrumen regulasi emosi.
2. Analisis Sosiologis: Self Reward sebagai Gejala Sosial
Fenomena self reward perlu dipahami tidak hanya sebagai perilaku individual, tetapi juga sebagai bagian dari gejala sosial yang lebih luas. Dalam perspektif sosiologi, perilaku konsumsi individu merupakan hasil interaksi kompleks antara struktur sosial, nilai budaya, serta proses identitas diri. Oleh karena itu, analisis terhadap praktik self reward memerlukan pendekatan multidimensional yang mengaitkannya dengan teori-teori sosiologi modern.
Jean Baudrillard dalam teori konsumsi simbolik mengemukakan bahwa masyarakat kontemporer mengonsumsi bukan lagi karena kebutuhan dasar, tetapi karena makna simbolik yang melekat pada barang atau jasa yang dikonsumsi. Dalam konteks ini, self reward tidak hanya sekadar membeli produk, tetapi juga menyimbolkan status sosial, pencapaian pribadi, dan gaya hidup tertentu. Ketika seorang remaja memamerkan pembelian produk skincare mahal atau kopi merek ternama di media sosial, hal tersebut bukan hanya ekspresi kepuasan, tetapi juga bagian dari komunikasi sosial tentang siapa dirinya dan bagaimana ia ingin dipersepsi.
Budaya media sosial turut memperkuat dimensi simbolik ini. Platform seperti Instagram dan TikTok menciptakan panggung tempat individu berlomba-lomba menampilkan versi terbaik dari hidup mereka. Konsep “performativitas” dari Erving Goffman dalam teori dramaturgi menjelaskan bahwa individu dalam masyarakat bertindak layaknya aktor di atas panggung sosial, yang terus-menerus menampilkan diri sesuai ekspektasi audiens. Praktik self reward menjadi bagian dari pertunjukan ini—diabadikan, dibagikan, dan dinilai. Akibatnya, terdapat tekanan sosial yang kuat bagi remaja untuk turut serta dalam budaya konsumsi simbolik demi mendapatkan validasi dan pengakuan.
Karl Marx, melalui konsep alienasi, menyoroti bagaimana sistem kapitalis membuat individu terasing dari esensi dirinya. Dalam masyarakat modern, tekanan produktivitas, kompetisi akademik, dan pencapaian karier kerap menciptakan perasaan lelah dan kehilangan makna. Self reward dalam hal ini dapat dilihat sebagai upaya merestorasi kendali atas hidup, walau hanya sesaat. Namun, karena konsumsi tidak pernah benar-benar menyentuh akar persoalan eksistensial, individu justru semakin terjebak dalam siklus alienasi dan kompensasi konsumtif yang tidak berkesudahan.
Dalam pendekatan fungsionalisme struktural yang dipelopori oleh Talcott Parsons, perilaku seperti self reward dapat dipandang sebagai mekanisme adaptasi terhadap tekanan eksternal. Ia memiliki fungsi menjaga stabilitas psikologis dan emosional individu agar tetap mampu menjalankan peran sosialnya. Akan tetapi, jika perilaku ini berlangsung tanpa kontrol, ia berisiko berubah menjadi disfungsi sosial yang menimbulkan masalah psikologis (seperti ketergantungan emosional pada konsumsi) maupun ekonomi (misalnya utang konsumtif akibat layanan paylater).