Menuntut pengakuan pemerintah
Kelompok yang mengadakan aksi bela tauhit atau aksi 211 2018, agaknya menjadikan hari Jumat dan masjid Istiqlal sebagai hari dan tempat bersejarah yang paling tepat untuk melakukan tekanan kepada pemerintah yang dikaitkan dengan masalah agama yang minta harus direspon dengan pernyataan politik.
Dengan kata lain kelompok tersebut seolah memaksa pemerintah agar terjebak dalam politisasi insiden pembakaran bendera di Garut oleh BANSER, untuk bisa dipermasalahkan berkepanjangan dan bisa menjadi persoalan ruwet dan keruh. Menjelang Pilpres 2019.
Satu pihak menyatakan bahwa bendera yang dibawa dan dibakar adalah bendera tauhit sedang pihak yang lain menyatakan sebagai bendera HTI. Â Jelas pernyataan yang bertentangan itu menimbulkan persoalan hukum.
Sudah seharusnya semua pihak menghormati langkah hukum yang sedang berproses. Tetapi aksi bela taukhit agaknya memang sengaja untuk tidak mau bersabar menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Â Mereka seperti takut karena kiamat sudah dekat dan mereka akan berdosa berat karena benderanya dibakar?
Baiklah kita tunggu saja perkara tersebut diselesaikan oleh yang berwenang memutuskan. Â Aparat negara sudah cukup berpengalaman dalam menangani masalah seperti itu.
Kalimah tauhit hanya disuarakan
Menurut penulis.  Kalimah tauhit itu tidak terlihat tetapi bisa dimengerti karena keberadaannya hanya dalam ucapan yang bisa didengar telinga orang lain.  Atau hanya berupa getaran murni suara hati yang bisa dimengerti hanya oleh siapa saja yang mau mendengar suara hatinya yang  tidak bisa bohong.
Jadi kalimat tauhit yang terlihat mata tertera di atas suatu bahan---media apapun, sama sekali bukan kalimah taukhit. Yang bisa terlihat mata hanyalah gambar, tulisan, lafatz atau seni kaligrafi semata.
Oleh sebab itu kalimat tauhit bisa dimengerti dan dirasakan keberadaannya oleh orang yang tidak bisa membaca huruf arab bahkan oleh mereka yang tunanetra.
Kalimat tauhit ada di  Kitab Al Qur'an sebelum kitab-kitab yang berupa kertas bisa dibuat oleh manusia.