Mohon tunggu...
Asfira Zakia
Asfira Zakia Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswi

E= mc2

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pro-Kontra Qanun Poligami sebagai Isu Agama yang Penuh Kontroversi

12 Juli 2019   10:45 Diperbarui: 12 Juli 2019   12:12 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membahas masalah poligami yang saat ini tengah menggegerkan sebagian masyarakat khususnya di daerah Aceh dimana akan dilegalkannya Qanun atau perundang-undangan perkawinan terkait diperbolehkannya poligami tentu tidak akan ada habisnya dan terus menuai pro dan kontra.

Pada awalnya saya tidak ingin menulis tentang hal ini mengingat saya terbilang masih berumur jagung dan belum mengetahui betul hakikat dari pernikahan sekaligus belum cukup pengetahuan untuk mengupas masalah ini tapi ada perasaan yang mengganjal ketika kita belum bisa mengeluarkan unek-unek yang ada di pikiran kita terhadap topik yang sensitif dan menarik ini apalagi kita sebagai wanita.

Pada artikel kali ini, saya tidak akan bertele-tele menjelaskan apa itu poligami karena sudah banyak sekali artikel yang menjelaskan demikian. Tapi saya akan menuangkan pandangan saya terkait pro-kontra isu qanun poligami yang sampai kini terus bergejolak.

Sesungguhnya tidak benar tentang tuduhan Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami sebab pada kenyataannya, aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan dikembangkan di negara-negara non-Islam seperti Jepang, Afrika, China, dan India. 

Bahkan sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam, yaitu orang-orang Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Belanda, Belgia, Denmark, Inggris, dan Swedia. Maka, tidak benar anggapan bahwa poligami dilahirkan dari agama Islam.

Tinjauan Tasawuf Poligami

Mengenai hukum berpoligami sendiri bisa dikaji dari salah satu kitab tasawuf karangan Ibn Atha'illah al-Sakandari berjudul al-Hikam bahwa selama si pihak laki-laki memenuhi semua syaratnya dan istri sebelumnya merelakan hal itu tidak menjadi masalah karena itu sebuah opsional atau pilihan. Dan bagi si perempuan berhak mengajukan syarat terkait poligami.

Misalkan, saya dilamar seseorang dan mengatakan "Saya tidak mau dipoligami selama saya masih mampu menjalankan tugas sebagai seorang istri". Apakah saya mengharamkan poligami? Jelas tidak, karena Allah sendiri yang memperbolehkannya. Analoginya seperti jangan makan jengkol karena saya tidak suka baunya. Jadi, jika makan jengkol jangan dekat-dekat saya.

Sama seperti itu, jika saya masih mampu menjalankan tugas saya, saya tidak mau dipoligami kecuali kalau saya sakit menahun dan tidak bisa menjalankan tugas sebagai seorang istri. Tapi tetap, syarat-syaratnya harus benar-benar terpenuhi, yaitu keadilan dan pembatasan empat istri.

Adapun mengenai hak suami dan istri, hak suami adalah kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami adalah hak bagi istri, yaitu:

Kewajiban suami atas istrinya yang merupakan hak istri dari suaminya.

Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya.

Hak bersama suami istri.

Kewajiban bersama suami istri.

Bukannya saya bermaksud menyinggung pihak atau golongan manapun, kalau melihat realita yang ada, mana ada zaman sekarang laki-laki yang benar-benar bisa berbuat adil?

Misalkan saja, surganya istri di bawah telapak kaki suami dan surganya suami di bawah telapak kaki ibunya dan ibu mertuanya. Mungkin ada istri yang lebih taat dan patuh pada suami daripada kepada orang tuanya tapi sangat jarang saya temui menantu taat kepada mertuanya. Dari sini saja sudah bisa kita nilai, nilai keadilan seorang laki-laki dari satu sisi dasar. Jadi, bagaimana menurut Anda?

Tinjauan Sosiologis Poligami

Jika dilihat dari sudut pandang seorang wanita, poligami acapkali dianggap sebagai penindasan. Terutama terhadap hak-hak wanita. Ya, saya pun sebagai wanita juga tidak akan ridho jika diduakan. Pasti sangat menyakitkan bagi seorang wanita.

Karena memang benar menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip oleh Masyfuk Zuhdi bahwasanya poligami dipandang membawa kemadharatan dan resiko lebih banyak dibanding manfaatnya mengingat manusia itu mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak itu akan tumbuh dengan kadar tinggi jika berada di keluarga yang poligamis.

Sehingga, dari sini dapat kita ambil benang merah bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat dan benar-benar mendesak.

Lagipula, sepaham saya, kebanyakan laki-laki yang mendukung praktik poligami memperkuat alasan dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai timbangan kebenaran atau mungkin "membenarkan" Al-Qur'an untuk membenarkan suatu hal khususnya diperbolehkannya hukum poligami. Atau mungkin dengan dalih untuk menghindari perzinaan atau free sex namun masih perlu dipertanyakan keadilan dan pemenuhan terhadap hak-hak wanita.

Yang perlu ditekankan dan digaris bawahi dari sini adalah pemahaman manusia itu menikah untuk saling menyempurnakan. Surga bisa diraih melalui ketaatan dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. 

Jika menyinggung masalah poligami, menurut saya sama seperti halnya bolehkah seorang muslim menikahi wanita non-muslim dari empat kitab samawi selain Al-Qur'an? Boleh, jika itu murni namun dengan aturan yang tegas.

sumber: Regional Kompas
sumber: Regional Kompas

Sehingga, dari sini sudah jelas bahwa sebenarnya hukum asli perkawinan menurut Islam adalah monogami karena dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh di dalam sebuah keluarga. 

Sedangkan poligami dalam Islam merupakan lompatan kebijakan sekaligus korelasi Islam atas syari'at sebelumnya dan tradisi masyarakat Arab dengan catatan syarat dan kerelaan istri terpenuhi.

Saran saya, boleh saja kita menyuarakan pendapat tapi jangan provokatif (termasuk saya pribadi). Karena sejatinya, poligami itu pilihan dan Allah sendiri yang memperbolehkannya (dengan suatu alasan). 

Tak perlu menentang terkait hal ini, hanya saja boleh untuk setuju atau tidaknya untuk dilaksanakan, itu suatu pilihan karena sejatinya Allah memperbolehkan demikian untuk melindungi laki-laki dan perempuan, bukan memberi peluang bagi laki-laki hidung belang.

Sumber:

Zuhdi, Masyfuk. 1988. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: PT. Griya karya, cet-1, hlm. 12

Al-Hamdani, Sa'id Thalib. Risalatun Nikah, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. terj. Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, cet ke-3, 1989, hlm. 80

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun