Mohon tunggu...
Asfira Zakia
Asfira Zakia Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswi

E= mc2

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Mana yang Benar?" Sebuah Dimensi Anatomi Persepsi

17 Maret 2019   22:00 Diperbarui: 19 Maret 2019   13:49 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://awsimages.detik.net.id/customthumb/2014/06/29/1562/175138_debatt4.jpg.jpg?w=780&q=90

Dia salah dan aku benar, dia bodoh, dia jelek, dia pemalas, dia sok alim, dia.. dia… dan dia… Semua muncul dalam pikiran sebagai persepsi dangkal hingga langsung dibuat sebagai sebuah kesimpulan dengan hanya memandang permukaan, tanpa memedulikan perasaan, tanpa memperhitungkan kebenaran, tanpa mengeksplorasi kedalaman, dengan sikap arogan langsung melakukan penghakiman.

Merebaknya kasus konflik dan penistaan agama, tragedi Sampit - Suku Dayak vs Madura yang melegenda, sentimen etnis berujung penjarahan dan luka, penyerangan antar kelompok agama, munculnya kelompok separatis yang merusak tatanan negara, konflik dan liberasi politik yang merajalela, adalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang disebabkan beban persepsi yang tidak dikelola. Terjadinya berbagai konflik dan polemik terjadi salah satunya karena intoleransi masyarakat terhadap perbedaan persepsi dan rendahnya kesadaran akan hakikat manusia itu sendiri.

Calon pemimpin yang satu menjanjikan akan membuat negaranya maju, sedangkan pemimpin yang satunya menjanjikan akan membuat negaranya menang. Perbedaan persepsi itulah yang akan membuat persepsi-persepsi lain muncul sebagai bentuk respon dari persepsi sebelumnya. Entah itu akan menumbuhkan persepsi positif ataupun negatif.

Ada dua orang dari teman saya, sebut saja mereka Markucil dan Murkunah. Markucil ini dari Madura sedangkan si Markunah sendiri dari Kalimantan. Tiap-tiap hari mereka berselisih mengenai bahasa siapa yang pantas dipakai di kelas dan tak jarang saling mencaci dengan bahasa mereka. Bahkan mereka bersikukuh dengan keyakinan mereka untuk menjadikan bahasa mereka sebagai bahasa nasional. Nah, dari sini bisa kita ambil dari cerita tersebut sebagai contoh distingsi persepsi dalam bahasa sehingga menimbulkan polemik dan friksi suatu kelompok.

Apa sebenarnya yang dimaksud persepsi itu sendiri? Stephen Hawking mengatakan bahwa Tidak ada cara untuk menyingkirkan pengamat – kita – dari persepsi kita tentang dunia. Maksudnya, dunia kita adalah persepsi kita dimana dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya oleh panca indra kita. Artinya, jika dipikirkan lebih dalam, apa yang kita sebut sabagai dunia juga sebenarnya adalah bentukan dari persepsi pikiran yang kita dasarkan pada kelima panca indra kita. Seperti yang kita ketahui bahwa hewan dan tumbuhan memiliki panca indra yang berbeda, maka mereka pun memiliki pemahaman dunia yang berbeda. Oleh karena itu, sikap kita terhadap orang lain maupun dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi dan sugesti yang tertanam di kepala kita.

Sebuah buku yang berjudul Ensiklopedi Komunikasi karya Leavitt (1978), persepsi bisa diartikan tentang bagaimana cara seseorang melihat sesuatu atau berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang dan mengartikan sesuatu stimulus yang ditangkap melalui alat indra. Persepsi merupakan proses mengelola, menakrifkan, ataupun menginterpretasikan apa yang ditangkap dari indra kita. Jadi, persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Hal itu berkaitan dengan panca indra.

Ketika panca indra kita terganggu, maka pemahaman kita akan dunia juga berubah. Misalnya ketika seseorang itu lapar, mabuk, atau gila, maka seluruh panca indra orang tersebut juga terganggu dan pemahaman kita tentang dunia juga berubah. Maka, dunia sebagai kenyataan mutlak juga sebenarnya tidak ada. Dunia ada, sejauh kita memikirkannya dengan panca indra kita. Jika dunia ini tidak ada, lalu apa jadinya?  

Jika kita melihat dari kacamata kita, banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang tertanam di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak atau persepsinya sebagai suatu kenyataan. Orang kemudian ramai membela apa yang layak diperjuangkan, seolah- olah berkata  tentang kebenaran dan menyudutkan yang nampak salah serta menentang apa yang meragukan.

https://assets-a1.kompasiana.com/items/album/2018/01/25/6-atau-9-5a69b736bde5751d9c764864.jpg
https://assets-a1.kompasiana.com/items/album/2018/01/25/6-atau-9-5a69b736bde5751d9c764864.jpg
Seringkali persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Sejatinya, tidak ada sebenar-benarnya kebenaran di dunia ini selain dalam ranah Tuhan. Orang yang merasa bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan 100% sesuai dengan kenyataan adalah orang yang hidup dalam delusi dimana pikiran atau pandangan tidak rasional. Teori Marxis menyebutnya sebagai suatu ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua spekulasi dan persepsi lahir dari ideologi sesat yang muncul di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapat mereka begitu dangkal karena hanya mengikuti kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas atau hal itu bisa kita sebut sebagai fenomena terlampauinya dogmatisme masyarakat.. Sehingga timbullah hegemoni atau dominasi. Hegemoni sendiri membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Yang benar terlihat sebagai suatu kesalahan. Hegemoni membuat orang dijajah walaupun ia ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah teknik penipuan  namun tak pernah sungguh disadari sebagai bentuk ancaman.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegomoni dapat memicu kebencian. Kebencian akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya yang akan memperkuat stigma dan persepsi yang salah. Persepsi akan menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat manusia.
Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi?  Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi melainkan membangun persepsi yang cerdas. Bukan berarti tidak mempunyai persepsi namun merumuskan persepsi yang cerdas. Lalu, bagaimana merumuskan persepsi yang cerdas itu sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun