Di eropa, negara tdk ngurusi halal-haramnya rokok, karena itu masalah keyakinan, private. Yang diurusi adalah bagaimana hak-hak warga negara non-smokers terlindungi. Makanya, merokok di ruang publik yang tertutup adalah dilarang, krn berbahaya bagi orang lain, terutama untuk bayi. Pengamatan saya waktu di Eropa, mereka rela turun tangga dari kantornya di lantai dua atau tiga, dan menuju ke halaman, demi merokok, demi menjaga hak-hak orang lain yang bukan perokok. Tegasnya, Kalau mau merokok di ruang publik terbuka, silakan. Merokok sendirian di kamar sampai 50 batang, juga tdk masalah, sumonggo. Itu adalah hak asasi perokok.
Semoga kita di Indonesia bisa mencontoh dari hal tersebut. Tidak merokok di ruang publik yang tertutup (misal restauran, perpus, gedung perkantoran). Itu adalah hal yang saya pikir, adalah demi kemaslahatan bersama. Dan menurut saya, tidak ada orang berakalsehat yang menentang hal tersebut. Walaupun perlu dicatat, bahwa konteks Indonesia berbeda dengan Eropa, terutama dalam hal relasi agama dan negara, kehadiran agama di ruang publik.
Di Indonesia, agama sangat kentara di ranah publik. Dan perdebatan tentang halal-haram di publik seringkali mempengaruhi kebijakan negara. Kendatipun demikian, baik yang memakruhkan maupun yang mengharamkan rokok, kiranya semua sepakat pada madharat (sisi negatif) dari merokok di ruang publik yang tertutup. Dan inilah yang bisa dijadikan "titik temu" (kalima sawa') antara kedua kubu tersebut.