Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyemai Makna Sebelum Senja: Investasi Kegiatan Bermakna untuk Pensiun Bahagia

20 Mei 2025   10:41 Diperbarui: 20 Mei 2025   10:41 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : pexels-samet-avci-2037503999-29323510

Menyemai Makna Sebelum Senja: Investasi Kegiatan Bermakna untuk Pensiun Bahagia

Saat mendengar kata "pensiun", gambaran yang langsung terlintas dalam benak kita adalah sosok pegawai negeri berseragam rapi atau karyawan perusahaan plat merah yang sedang menerima pesangon. Sebuah stereotip yang telah mengakar kuat dalam pemikiran masyarakat. Namun, jika kita menyelami lebih dalam, pensiun sejatinya bukanlah hak eksklusif golongan tertentu semata.

Pensiun, ketika dikaitkan dengan masa depan, ternyata merupakan hak fundamental setiap insan. Petani yang menanam sahang hari ini, nelayan yang merawat perahunya, pedagang yang mengembangkan usahanya, mereka semua sesungguhnya sedang mempersiapkan masa pensiunnya masing-masing. Pensiun bukan lagi sekadar tentang berhenti bekerja, melainkan tentang hak setiap manusia untuk memastikan keberlangsungan hidup ketika usia tak lagi mendukung untuk bekerja keras.

Inilah pemahaman yang lebih manusiawi tentang pensiun. Sebuah pengakuan bahwa setiap orang (tanpa memandang profesi, status sosial, atau latar belakang) berhak merencanakan masa tuanya dengan layak. Pensiun menjadi simbol universal dari hak dasar manusia untuk hidup bermartabat hingga akhir hayatnya.

Menanam Sahang

Suatu hari di tahun 1989 saat libur kuliah, saya diajak Bapak pergi ke ladang untuk menanam merica (sahang). Namun, ladang yang saya bayangkan ternyata berbeda dengan gambaran Bapak. Saya membayangkan hamparan tanah terbuka yang luas tanpa pohon, tetapi kenyataannya, ladang kami saat itu adalah jatah pesawahan dari program transmigrasi yang masih dipenuhi pepohonan besar. Akses jalannya pun belum ada, hanya tersedia jalan setapak yang biasa digunakan para pemburu babi hutan.

"Ayo ikut Bapak ke ladang, kita tanam sahang buat biaya kuliah dan persiapan pensiun nanti," ajak Bapak pagi itu. Bibit merica sudah disiapkannya sejak kemarin, jadi hari ini kami tinggal membawanya. Tak lupa, Bapak menyuruhku membawa linggis, alat yang akan kami gunakan untuk melubangi tanah. Kenapa linggis, bukan cangkul? batinku heran, tapi kuikuti saja. Selain linggis, kami juga membawa parang, golok panjang khas petani Sumsel yang biasa digunakan untuk membersihkan semak dan ranting. Dengan bekal seadanya, kami pun berangkat menuju ladang mengendarai sepeda ontel tua.

Sesampainya di ladang, pertanyaanku tiba-tiba terjawab. Ternyata, bibit sahang ini harus ditanam di sela-sela akar pepohonan besar yang menjalar di tanah. Pantas saja pakai linggis---kalau pakai cangkul, mana bisa menembus jalinan akar sekuat ini?

"Ayo, mulai kita tanam," seru Bapak, tangannya sudah menggenggam linggis. "Carilah pohon yang ukurannya sedang, lalu tanam bibitnya di antara akarnya. Jangan lupa baca sholawat, biar berbuah lebat dan berkah. Nanti hasilnya bisa buat kuliahmu... sekaligus pensiun Bapak," candanya sambil menyeringai, tapi matanya bersungguh-sungguh.

Dia lalu mendemonstrasikannya: linggis dihunjamkan ke tanah, menggali celah sempit di antara akar-akar yang berkelindan, lalu dengan hati-hati ia menjejakkan bibit sahang muda ke dalamnya.

Seolah membaca keraguan di wajahku, Bapak berhenti sejenak setelah menanam bibit terakhir. Wajahnya yang biasanya santun tiba-tiba berubah serius. "Jangan ragu untuk menanam, Nak," katanya sambil menepuk tanah dengan telapak tangan yang kasar. "Lihatlah, tanah ini subur. Nabi Muhammad saja menanam kurma di negeri berbatu-batu, tapi tetap tumbuh. Bahkan Rasulullah pernah bersabda, 'Kalau kau punya bibit di tangan, meski kiamat datang esok, tetaplah tanam.' Apalagi kita... siapa yang tahu kapan akhir zaman tiba?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun