Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makan Bareng di Pematang: Nikmat Sederhana, Kenangan Tak Terlupakan

8 Mei 2025   12:36 Diperbarui: 8 Mei 2025   12:49 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Padi hijau royo-royo (dokumen pribadi)

Makan Bareng di Pematang: Nikmat Sederhana, Kenangan Tak Terlupakan

Petani adalah orang yang bekerja di sektor pertanian, baik dengan menanam tanaman, beternak, atau mengelola lahan untuk menghasilkan bahan pangan dan komoditas lainnya. Petani memegang peranan penting dalam ketahanan pangan dan perekonomian suatu negara.

Petani Zaman Dulu: Bergelut dengan Lumpur, Medok tur Kotor

Dulu, menjadi petani berarti mengandalkan otot dan tenaga sepenuhnya. Setiap proses bertani dilakukan secara manual, penuh perjuangan, dan tak lepas dari lumpur. Dari awal mengolah tanah, petani harus mencangkul dan membajak sawah dengan susah payah, terkadang menggunakan tenaga kerbau atau sapi. Semua itu dilakukan demi satu tujuan: bisa menanam padi.  

Saat menanam padi pun tidak mudah. Petani harus tandur (menanam bibit padi satu per satu sambil mundur), dengan tangan terampil menata setiap batang di lumpur yang becek. Ketika padi mulai tumbuh, agar subur, mereka menyebar pupuk kimia secara manual, berjalan menyusuri sawah dengan hati-hati. Gulma (rumput liar) yang tumbuh subur pun harus dibersihkan lewat penyiangan, membungkuk berjam-jam di tengah terik matahari.  

Dari mengolah tanah, merawat tanaman, hingga panen, petani zaman dulu tak pernah lepas dari lumpur. Semua dikerjakan dengan tangan, kaki terbenam dalam sawah, badan penuh keringat dan tanah. Mungkin karena itulah orang Bandung (dengan nada guyon) bilang, "Petani itu doktor---medok tur kotor!" (terjun ke lumpur dan selalu kotor).  

Meski terlihat sederhana, kerja keras petani zaman dulu adalah fondasi ketahanan pangan kita hari ini. Mereka mungkin tak menggunakan teknologi canggih, tapi ketelatenan dan kegigihan mereka patut dihargai.  

Rindu akan Hijau Sawah dan Hangatnya Kenangan

Sudah bertahun-tahun aku tak lagi melihat hamparan hijau padi menguning di sawah. Namun, ketika akhirnya kuberkesempatan mendekat lagi (menyusuri pematang yang dulu sering kulalui, mencium aroma tanah basah dan tangkai padi yang tertiup angin) tiba-tiba ingatanku melayang puluhan tahun ke belakang.  

Aku kembali melihat kami, sekeluarga, duduk lesehan di tepi sawah selepas berjam-jam mencangkul atau menanam. Waktu istirahat itu selalu dinanti: tangan yang pegal, punggung yang panas, dan perut yang keroncongan akhirnya terobati dengan nasi hangat dari rantang. Nenek membuka daun pisang pembungkus lauk, ikan asin goreng renyah, sambal terasi yang bikin mata melek, dan lalapan mentimun segar. Kami makan bersama, berebut tapi tetap tertawa, sambil mendengar cerita-cerita kakek tentang musim tanam tahun lalu.  

Sekarang, sawah itu masih ada, tapi yang dulu makan bersamaku sudah tak lagi lengkap. Ada yang pergi untuk selamanya, ada yang memilih mengadu nasib di kota. Namun, setiap kali kucium bau lumpur sawah atau kudengar gemerisik padi tertiup angin, rasanya seperti mereka ada di sini, duduk di sebelahku, menceritakan betapa hari ini panennya pasti bagus.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun