Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Review Buku Lawas: Dalam Bayangan Lenin

8 Agustus 2010   04:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_219365" align="alignleft" width="98" caption="sumber: www.goodreads.com"][/caption]

Tak pelak, berdirinya Uni Soviet yang sekarang bereinkarnasi menjadi Rusia merupakan klimaks dari Revolusi Oktober 1917 atau yang lebih dikenal sebagai Revolusi Bolshevik dengan tokohnya yang dipuja sekaligus dicerca, Lenin.

Selama 15 tahun, Lenin mempersiapkan kaum Bolshevik untuk merebut kekuasaan dari Tsar Nicholas II yang dianggap status quo. Dan nyatanya, jalan yang dipilih Lenin tiu tidaklah meleset. Lenin sukses membawa kaum Bolshevik untuk membentuk negara baru yang berhaluan sosialis dengan ide ide dasarnya dipengaruhi oleh pemikir sosialis terkemuka sepanjang jaman, Karl Marx.

Marx mungkin tak pernah berpikir bahwa ide idenya jauh setelah meninggal bakal menemukan konteksnya dan menjadi ideologi sebuah negara yang nantinya menjadi salah satu negara adikuasa, pesaing negara yang dianggap representasi kaum kapitalis Amerika Serikat, yang secara ideoligis berbeda dengan Soviet yang sosialis. Amerika di barat, dan Soviet di timur. Amerika menggandeng NATO, Soviet mengendalikan Pakta Warsawa. Tak diragukan lagi, dunia pernah dicengkeram oleh dua negara adikuasa ini. Komunisme pada puncaknya pernah membawahi 18 negara, yang itu berarti mencakup sepertiga umat manusia yang hidup di muka bumi.

***

Cita cita Marx dalam mewujudkan kesejahteraan manusia sebenarnya suatu hal yang sederhana. Ia hanya ingin melihat tak ada lagi penghisapan manusia atas manusia lainnya. Marx acapkali geram manakala melihat terjadinya perbedaan dan penindasan antar kelas sosial yang terbagi secara trikotomis yakni kelas buruh, kelas pemilik modal, dan para tuan tanah. Para tuan tanah pada akhirnya mempunyai sifat dan persamaan dengan kelas pemilik modal.

Kelas kelas ini adalah kelas sosial versi Marx dari sudut pandang ekonomis. Kelas pemilik modal yang mempunyai alat alat produksi menggantungkan hidupnya dari laba yang diperoleh dan ditanam dalam bentuk investasi modal dan alat produksi. Ia secara langsung memiliki kuasa atas alat alat produksi tersebut. Sedangkan kelas buruh atau kelas proletar adalah kelas yang bekerja pada kelas pemilik modal karena ia tidak mempunyai modal dan alat produksi. Ia hanya mengandalkan tenaga yang dimilikinya sekedar untuk bertahan hidup.

Kaum pemilik modal karena merupakan kelas yang berkuasa, ia mendominasi kelas buruh. Dengan dominasi kekuasaan itu, kelas pemilik modal akan mengontrol apa yang diinginkan dan dilakukan oleh kelas buruh. Nah, dalam sistem kapitalis ini, kelas buruh dan kelas pemilik modal diperhadapkan dalam posisi diametral tak seimbang. Jika buruh berhenti bekerja sehari saja, ia akan kehilangan kesempatan untuk menghidupi dirinya, karena ia tak punya apapun kecuali tenaga yang dijual murah pada pemilik modal. Sedangkan, kalau ditilik dari segi pemilik modal jika buruh itu berhenti bekerja, ia tak akan rugi sama sekali karena ia telah menyimpan keuntungannya apabila terjadi hal hal yang tak diinginkan.

Dengan demikian kelas pemilik modal adalah kelas kuat dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat syarat bagi mereka yang mau bekerja dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis. Jadi, dalam hubungan produksi, yang berkuasa adalah para pemilik, sedangkan yang dikuasai adalah para pekerja (Franz Magnis Suseno, 1999:114). Disinilah letak ketidakadilan itu. Dan Marx melihat ketimpangan itu, naluri perwujudan keadilan dan cita cita sosialismenya muncul, ia menghasratkan terbentuknya masyarakat tanpa kelas, masyarakat komunis.

Fondasi masyarakat komunis atau masyarakat tanpa kelas inilah yang mengilhami Lenin membuat tiang pancang hadirnya Uni Soviet, walaupun dalam batas batas tertentu ajaran Karl Marx ini mengalami distorsi yang dilakukan oleh Lenih sendiri. Karena Marxisme tak sama dengan komunisme. Marxisme merupakan pembakuan ajaran Marx yang dilakukan oleh sahabatnya Engels, dan teoretis ulung Marxis yakni Karl Kautsky. Sedangkan komunisme adalah gerakan yang dilakukan oleh kaum Bolshevik pada Oktober 1917 di bahwa pimpinan Lenin.

Atau, bisa juga dinisbatkan pada integrasi dua ajaran dengan sentuhan revolusioner dari Lenin yaitu perpaduan antara Marxisme Leninisme yang dibakukan oleh Stalin ketika memberikan kuliah umum di Universitas Swerdlovsk. Harus kita akui bahwa Lenin merupakan sosok kunci yang mengangkat tahta Marxisme dari sekedar ajaran teoretik dan bacaan reflektif belaka menjadi sebuah ideologi yang dianut oleh sebuah negara besar dan pernah mewarnai panggung sejarah dunia. Lenin telah membawa Marxisme dari teori melangit menjadi aksi membumi.

Buku ini memuat enam pandangan pemikir Marxisme paling otentik dan brillian. Selain Lenin yang dipandang sebagai embah-nya komunisme, pemikir Marxisme lain yang dibahas dalam buku ini adalah Leon Trotsky, Georg Lukacs, Karl Korsch, Antonio Gramsci, dan Tan Malaka.

Pemikiran yang diungkapkan oleh mereka bersinggungan langsung dengan suasana waktu itu. Maka tak heran, jika sebagian besar dari tokoh tokoh ini mengalami pergulatan langsung dengan revolusi kaum buruh sebelum dan sesudahnya. Trotsky misalnya memimpin dewan buruh pada 1905 dan Oktober 1917. Lukacs menjadi menteri masa pemerintahan Bela Kuhn 1919 di Hongaria; Korsch secara aktif terlibat dalam persiapan revolusi di Jerman, walau akhirnya gagal; Gramsci melakukan perlawanan terhadap fasisme di Italia; dan Tan Malaka secara tegas menolak Konferensi Prambanan yang menghasilkan keputusan percepatan revolusi dengan pemberontakan pada 1926 dan 1927 yang juga berakhir dengan kegagalan akibat persiapan prematur.

Pemikiran mereka yang dibayangi oleh Lenin bukan berarti tak ada independensi pemikiran. Justru, kelima pemikir yang berada pasca Lenin tidak sedang mempropagandakan sebuah ideologi partai namun secara cerdas dan kritikal dengan masing masing cara pandangnya mengkonstruk ulang hakikat dari pemikiran Marxisme dan Leninisme.

Karena kebebasan dan kejujuran menuliskan pikirannya secara terus teranginilah yang menyebabkan kelima pemikir ini-minus Lenin-mesti berhadapan secara frontal dengan aparatus partai yang hanya berorientasi kekuasaan dan pada akhirnya menyeret mereka pada nasib yang teramat tragis. Mereka digilas paksa oleh ideologi yang ditulisnya sendiri. Benar kata dr. Abu Hanifah-salah seorang sahabat Amir Sjarifudin-bahwa revolusi senantiasa memakan anaknya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun