Mohon tunggu...
Asep Bahtiar Pandeglang
Asep Bahtiar Pandeglang Mohon Tunggu... Wiraswasta - bahtiar.net

Baca buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Embuhlah, Tulisane Opo Iki

23 Desember 2021   04:31 Diperbarui: 23 Desember 2021   04:40 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua yang saya dengar, lihat, rasakan, benar-benar terekam dalam memori. Sekali lagi, karena keterbatasan saya. Termasuk pengaturan memori mana yang harus diingat, selalu standby, untuk memastikannya pada saat saya membutuhkannya kapan saja saya masih tidak bisa.

Ada juga saat-saat ketika saya tiba-tiba merasa seperti telah melupakan sesuatu, tetapi ketika saya membutuhkan sesuatu, tiba-tiba terlintas dalam ingatan saya. Ada juga yang selalu saya ingat, lalu saya butuh ingatan, tiba-tiba merajuk dan hilang begitu saja. Bahkan tidak sedikit yang saya tidak ingat. Kemudian ketika saya 'menelepon' dia karena saya membutuhkannya, dia tidak menunjukkan hidungnya sama sekali.

Terkadang saya sangat senang menjadi kasar ketika berhadapan dengan hal-hal yang berbau Tuhan. Saya belum menemukan apapun dan itu tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Jadi kesimpulannya, ini benar-benar diri saya yang sebenarnya.

"Bukankah kamu lahir dan besar di desa?" saya bertanya pada diri sendiri. Hei, aku tidak bermaksud begitu. Ini adalah contoh. Ini hanya pengaturan memori, saya tidak yakin. Tidak hanya itu, ada banyak hal lagi yang tidak bisa saya lakukan sendiri. 

Untungnya, ada Tuhan, jadi ada seseorang yang bisa saya mintai bantuan. Ada tempat yang selalu siap untuk merelakan segalanya. Dan siap mengisi semua lubang ketidakberdayaan kita. 


Ya, meski terkadang ada juga rasa malu. Ada semacam pertanyaan, "Siapa saya, beraninya Ge-eR kalau Gusti Allah mau bantu saya. Tetapi jika bukan kepada-Nya, kepada siapa lagi saya bisa meminta?" Duh Gusti, maaf, maafkan segala kekurang ajaran dan tidak tahu malunya diri saya.


Tendangan yang mengetahui diri sendiri

Bicara soal memori, saat ingin menulis ini, saya juga mengalaminya. Entah kenapa aku dihantui perkataan Mbah Cak Nun. Aku mencoba mengabaikannya, tapi aku tidak bisa. Padahal ada hal lain yang perlu saya ingat dan tulis. Tapi yang satunya belum muncul. Ternyata dia malah kalah "kompetitif" dengan citra Mbah Nun di kancah tumpukan memoriku.

Berbicara tentang Cak Nun, dalam kesempatan itu ia mengungkapkan apa yang membuatnya betah dan senang menghadiri Maiyahan. Bahkan ia jauh-jauh dari Banyuwangi hingga Jombang, asal bisa mengaji di sana. Dia belum pernah menemukan penyelidikan seperti itu. Jangan marah, jangan pura-pura Arab dengan argumentasi ini dan itu, tapi menurut Cak Nun apa yang dibicarakan sudah ada di dalam Al-Qur'an.

Saya rasa apa yang dikatakan Cak Nun ada benarnya juga. Karena di Maiyahan kita tidak hanya penuh dengan argumen Arab, yang seringkali saya masih tidak mengerti apa maksudnya. Semuanya bisa diterangi di sini. Tidak ada penghalang yang memisahkan pengetahuan ini dan itu.

Kita sering diajak untuk mengakui budaya kita sendiri. Pergi melalui sejarah. Siapa kita, budayanya apa, tentang tempat kita dilahirkan, siapa dan bagaimana kakek nenek kita, seperti apa masa lalu bangsa kita dan sebagainya. Yang jelas, kita diajak untuk tetap berdialog dengan diri sendiri untuk menemukan jawaban siapa diri kita sebenarnya. Kita juga diajak untuk berdamai dengan diri sendiri, belajar dialektika dengan diri kita sendiri, agar kita juga bisa memiliki hati yang penuh.

Kalau dipikir-pikir, kenapa orang-orang ini malah mengajak kita untuk penasaran dengan diri kita sendiri. Bukannya diajari membaca ayat-ayat Al-Qur'an atau semacamnya seperti bacaan umum. Bahasa kekiniannya, biar terlihat lebih 'islami', lho. Lalu seseorang berkata, "Apa di dunia ini yang tidak Islami?" Nah, Anda sendiri yang tahu dan merasakannya.

Sedikit cerita, kebetulan beberapa hari yang lalu saya teringat sebuah hadits oleh seorang guru. Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu. Dia yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Logikanya, jika seseorang sudah mengetahui siapa dirinya, ia akan menemukan siapa Tuhannya.

Namun, kedua premis tidak bisa begitu saja dibalik. Artinya, tidak perlu jika seseorang adalah 'arafa rabbahu', dia akan menjadi 'arafa nafsahu'. Dalam matematika ada yang namanya implikasi. Jika p, maka q. Belum tentu benar jika q, maka p. Karena tidak ada jaminan bahwa pernyataan ini akan benar.

Jika hari ini hujan, saya akan membawa payung. Belum tentu benar pernyataan 'kalau saya ambil payung, hari ini akan hujan'. Jika dia mencintaiku, aku akan melamarnya. Belum tentu benar kalimat, 'kalau aku melamarnya, dia akan mencintaiku'.

Menusuk 'akar'

Menurut pengakuan sang guru, langkah ini sangat membantunya dalam membuat murid-muridnya mengenal siapa Tuhannya dan berjalan menuju-Nya. Dengan belajar mengenali potensi diri, apa kelebihan dan kekurangannya, para siswa Guru dapat bercinta dengan Tuhan Yang Maha Esa. 

Agama, kepercayaan, keyakinan seseorang adalah privasi dia sendiri. Ini semua urusan dapur seseorang. Jadi tidak etis jika kita tiba-tiba memadamkan api di dapur orang lain. Kecuali jika pemilik dapur sendiri yang mengajak kita berhenti di situ. Karena itu, ia lebih memilih mengajak siswa belajar mengenal diri sendiri, ketimbang 'menstimulasi' agama dan keyakinan siswa.

Bagaimana dengan kita yang telah belajar mengenal Tuhan? Apakah ini salah? Haruskah kita segera menghapus semua ingatan kita tentang Tuhan? Maka mulailah dari awal, belajarlah terlebih dahulu untuk mengenali siapa diri kita sebenarnya.

Tentu saja tidak demikian. Tidak ada salahnya belajar mengenal Tuhan sebelum mengenali siapa diri kita sebenarnya. Selama ada kemauan untuk mengimbanginya dengan belajar mengenali siapa diri kita. Dengan belajar dialektika, kita belajar mengasah hati dan pikiran kita agar iman kita kepada Sang Pencipta semakin kokoh. Sampai tidak ada keraguan tentang laa ilaha, kecuali Allah, illallah.

Masalahnya, iman kita kepada Sang Pencipta adalah buah dari pohon kita adanya. Kami beruntung telah bertemu orang-orang baik. Bayangkan, apa jadinya jika kita bertemu dengan orang yang berniat buruk. Buah kita berat, sedangkan akar kita, keyakinan kita pada diri sendiri belum begitu kuat. Karena kita sendiri tidak terlalu mengenal diri kita sendiri. Karena iman kita hanyalah "suap". Tanpa diimbangi dengan usaha kita sendiri untuk 'makan dan mengunyah'. Kalau begitu, bukankah pohon kita akan mudah dirobohkan oleh orang-orang yang berniat jahat?

Sekali lagi, kita harus menyeimbangkannya dengan terus mencari, berdialektika dengan diri sendiri, belajar mengenali diri sendiri. Ada hal lain yang berkontribusi pada stabilitas saya dalam sikap identifikasi diri ini. Katakanlah kita hidup dalam ruang dan waktu. Dalam dimensi ruang dan waktu, setidaknya ada dua arah gerakan yang bisa kita lakukan di dalamnya. Bergerak ke atas (vertikal) atau bergerak ke samping (horizontal). Gerak kesamping yang dimaksud di sini tentunya tidak hanya terbatas ke kanan dan ke kiri, tetapi juga ke depan dan ke belakang.

Katakanlah dialektika kita dengan diri kita sendiri adalah gerakan horizontal. Sedangkan menuju Tuhan adalah gerakan vertikal. Sekarang mari kita perkenalkan diri kita. Ke arah mana kita akan bergerak, jika kita terjebak dalam gerakan menyamping. Pilihan lain tetap ada, bukan? Artinya jika kita belajar membiasakan diri mengasah hati dan pikiran, belajar berdialektika dengan diri sendiri, pada akhirnya tidak akan ada pilihan lain. Selain itu, kami terbang ke "surga", semakin dekat dan dekat dengan Pemilik semua langit.

Bagaimanapun, ini kurang lebih kontribusi pada jawaban atas keingintahuan saya. Bagaimana Maiyahan ini bisa mengajarkan kita untuk belajar budaya, sejarah, membaca diri, berdialektika dengan diri sendiri, mengasah akal dan hati nurani. Bukannya sibuk menyampaikan ucapan-ucapan agama. 

Bagaimana mungkin Maiyah bisa diterima oleh jamaah yang berbeda agama. Ya, sebelumnya karena ini. Di sini kita tidak hanya diberi makan dengan argumen. Kita diajak untuk mengenal diri kita sendiri, berdialektika untuk menemukan Yang Esa. Dan bukankah wajar bahwa jauh di dalam kesunyian yang paling dalam, setiap hati pada dasarnya merindukan Yang Esa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun