Kepemimpinan yang Membelenggu
Apa jadinya sebuah sekolah jika aturan menjadi lebih penting daripada akal sehat? Pertanyaan ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi inilah yang saya rasakan sehari-hari sebagai guru. Sekolah seharusnya menjadi ruang belajar yang hidup, penuh dinamika, dan memberi ruang bagi kreativitas. Sayangnya, realitas yang saya hadapi justru sebaliknya: sekolah terasa kaku, birokrasi berbelit, dan segala sesuatu seakan diukur hanya dari kepatuhan terhadap aturan, bukan dari semangat untuk berkembang.
Sebagai contoh, sekadar keluar sekolah untuk urusan yang jelas dan mendesak bisa dianggap sebagai bentuk indisipliner. Padahal, guru juga manusia yang kadang perlu fleksibilitas. Apakah kepemimpinan yang sehat seharusnya mengekang dengan aturan tanpa kompromi? Atau justru membuka ruang dialog agar aturan bisa berjalan tanpa mengorbankan kemanusiaan? Saya yakin, pemimpin yang baik mampu menyeimbangkan keduanya.
Masalahnya, kepemimpinan di sekolah justru lebih sibuk dengan membangun pagar aturan ketimbang membangun jembatan komunikasi. Setiap langkah guru diawasi dengan kacamata hitam-putih: taat atau melanggar. Tidak ada ruang abu-abu, tidak ada kebijaksanaan, tidak ada pemahaman. Bagi saya, ini bukanlah kepemimpinan. Ini hanya administrasi yang dibungkus dengan kekuasaan.
Padahal, menurut banyak pakar pendidikan, salah satu ciri kepemimpinan efektif adalah kemampuan untuk memberdayakan dan memotivasi. Kepemimpinan bukanlah soal siapa yang paling keras menegakkan aturan, melainkan siapa yang paling mampu membuat orang lain merasa dihargai dan bersemangat untuk bekerja. Data dari penelitian McKinsey (2017) bahkan menunjukkan bahwa organisasi dengan kepemimpinan yang inklusif dan fleksibel memiliki produktivitas lebih tinggi hingga 30%. Angka ini menunjukkan bahwa kelenturan, empati, dan kemampuan mendengar jauh lebih bermanfaat daripada sekadar menghafal pasal-pasal peraturan.
Namun, realitas yang dihadapi justru berbanding terbalik. Aturan lebih panjang daripada daftar solusi, birokrasi lebih rumit daripada masalah yang hendak dipecahkan. Akibatnya, guru merasa tertekan, kreativitas terhenti, dan pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan sederhana malah diperlambat oleh prosedur yang tidak masuk akal.
Seorang kepala sekolah seharusnya hadir sebagai pemimpin yang membimbing, bukan penjaga pintu yang hanya melarang. Sekolah tidak butuh pemimpin yang kaku dan sibuk menegakkan disiplin semu, tetapi membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi teladan, pendengar, dan penggerak. Pemimpin sejati adalah mereka yang bisa membuat guru merasa berdaya, bukan terbelenggu.
Akhirnya, saya ingin mengatakan satu hal: kepemimpinan yang hanya berfokus pada aturan akan melahirkan kepatuhan palsu, bukan loyalitas sejati. Dan sekolah yang dipimpin dengan cara seperti ini perlahan akan kehilangan ruhnya. Karena pendidikan sejati lahir bukan dari rasa takut, melainkan dari rasa percaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI