Bukan headline nasional, tapi layak jadi kisah inspiratif, begitulah kabar ini bermula dari Kepulauan Sula.
Di ujung timur Indonesia, di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, kabar bahagia datang bukan dari riuhnya panggung politik atau sorotan kamera televisi, melainkan dari sebuah perayaan sederhana yang membekas: lebih dari 5.000 orang berkumpul di halaman Istana Daerah... kediaman resmi Bupati, untuk mencatatkan sejarah bersama.
Hari ini, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menetapkan rekor baru: makan cokelat serentak oleh ribuan warga.
Bukan konser, bukan karnaval. Tapi sebatang cokelat, hasil kebun lokal, dirintis oleh seorang asing, dan kini menjadi rasa yang menyatukan ribuan hati di sebuah kabupaten kepulauan yang dulu kerap disebut tertinggal.
Sula Berbenah Masyarakat Bahagia: Dari Bayang-Bayang 3T Menuju Sorotan Positif
Selama ini, nama Kabupaten Kepulauan Sula jarang terdengar dalam percakapan nasional. Sebagai bagian dari Maluku Utara, wilayah ini lama dikenal dalam kategori 3T: Tertinggal, Terdepan, dan Terluar. Akses terbatas, infrastruktur belum merata, dan letak geografis yang terpencar membuat mobilitas barang dan manusia jadi tantangan tersendiri.
Meski jarang disorot, Sula mulai berbenah. Warga di berbagai pulau perlahan membangun harapan mereka sendiri. Bukan dengan proyek besar, tapi dari langkah-langkah kecil yang bermakna, termasuk lewat rasa.
Tahun 2025, dalam momentum ulang tahun ke-22, pemerintah daerah mengangkat tema besar: "Sula Berbenah Masyarakat Bahagia." Bagi sebagian orang mungkin terdengar seperti slogan biasa, tapi bagi warga di pulau-pulau kecil ini, itu adalah semangat hidup: menata dari bawah, membangun dengan keterbatasan, dan merayakan capaian dengan sukacita yang kolektif.
Sulamina: Mimpi dari Kebun yang Dihidupkan Kembali
Tak banyak yang membayangkan, dari kebun kakao di pulau yang jarang disebut peta, bisa lahir produk yang kini mencuri perhatian nasional, bahkan tembus ke pasar internasional. Tapi itulah kisah Cokelat Sulamina, sebuah nama yang tidak hanya mewakili rasa, tapi juga semangat untuk bangkit dari pinggiran.
Kisah ini bermula pada tahun 2017, saat Pieter, seorang pria asal Kanada, pertama kali menginjakkan kaki di Kepulauan Sula. Yang ia temukan bukan geliat kota atau pusat industri, melainkan kebun kakao yang tumbuh liar, aroma tanah basah yang khas, dan warga lokal yang masih ragu akan nilai dari hasil kebun mereka sendiri.
Pieter melihat potensi di tempat yang selama ini terabaikan. Ia tidak datang dengan janji, tapi dengan rencana nyata. Bersama pemerintah daerah, ia membangun fasilitas pengolahan sederhana, melatih petani tentang fermentasi kakao, dan menciptakan sistem produksi cokelat yang menjunjung kualitas dan cita rasa. Dari situlah lahir nama Sulamina: Sula dan kakao premium dengan rasa tropis yang otentik.
Namun Sulamina bukan sekadar produk. Ia adalah cerita tentang kehidupan: tentang bagaimana mimpi seorang ekspatriat bisa menyatu dengan harapan warga lokal. Tentang rasa percaya yang tumbuh pelan-pelan. Dan tentang bagaimana sebuah kebun yang dulu sepi kini menjadi simbol pergerakan ekonomi dan identitas baru Masyarakat Sula.
Rekor MURI: Makan Cokelat, Menyatukan Daerah
Ada yang berbeda dari perayaan ulang tahun Kabupaten Kepulauan Sula tahun ini. Bukan sekadar panggung hiburan atau parade adat seperti biasa. Kali ini, ribuan warga, dari anak sekolah hingga nelayan, dari guru hingga ASN, berkumpul di halaman Istana Daerah untuk melakukan satu hal sederhana, tapi sarat makna: makan cokelat bersama.
Tepat pada 31 Mei 2025, lebih dari 5.000 batang cokelat Sulamina dibagikan dan disantap serentak. Momen ini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai peristiwa makan cokelat serentak terbanyak yang pernah dilakukan di Indonesia, bahkan mungkin satu-satunya di kawasan timur.