Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul "Koperasi Merah Putih Tidak Berdampak Menurunkan Kemiskinan Indonesia?", dan menawarkan pendekatan solusi strategis menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Luka Lama, Janji Baru
Koperasi kembali dihidupkan. Kali ini, dengan nama yang terdengar gagah dan nasionalis: Koperasi Merah Putih. Targetnya ambisius... 80.000 titik di seluruh desa dan kelurahan. Anggarannya disiapkan. Instruksi Presiden sudah turun. Tapi seperti yang telah ditulis sebelumnya, koperasi tidak akan berdampak menurunkan kemiskinan jika hanya dibentuk karena perintah, tanpa fondasi kepercayaan, transparansi, dan kontrol publik.
Pengalaman masa lalu terlalu banyak memberikan pelajaran: koperasi yang hanya aktif di atas kertas, RAT yang sekadar formalitas, dana bergulir yang menguap tanpa jejak. Maka wajar jika sebagian dari kita memandang program ini dengan skeptis.
Namun skeptisisme saja tidak cukup. Kita butuh harapan baru. Bukan harapan semu yang dibangun dari jargon, tetapi harapan yang bertumpu pada sistem yang bisa dipercaya, bahkan oleh mereka yang sebelumnya kecewa.
Di titik inilah Artificial Intelligence (AI)Â seharusnya masuk. Bukan sekadar teknologi, tetapi cara berpikir baru dalam menata ulang sistem koperasi: dari pelaporan, pengawasan, hingga keputusan pinjaman. Tulisan ini adalah ikhtiar untuk menjawab pertanyaan lama dengan cara yang lebih jernih dan berbasis masa depan.
Masalah Utama: Tiga Luka dalam Koperasi Kita
Sebelum berbicara tentang solusi, kita harus jujur pada realitas yang terjadi. Koperasi Merah Putih bukan ide yang keliru. Namun ia lahir dalam lanskap kelembagaan yang masih penuh luka. Dan setidaknya ada tiga luka lama yang terus membekas dalam tubuh koperasi Indonesia, luka yang tak bisa ditambal hanya dengan semangat nasionalisme atau target kuantitatif.
Pertama, akuntabilitas yang lemah.
Data nasional per akhir 2023 mencatat bahwa hanya sekitar 35,2% koperasi aktif yang memiliki Sertifikat NIK, penanda bahwa koperasi tersebut telah melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) minimal satu kali dalam tiga tahun terakhir. Itu berarti lebih dari 60% koperasi tak terverifikasi kinerjanya secara terbuka. Padahal RAT adalah fondasi transparansi. Tanpanya, laporan keuangan dan suara anggota tak lebih dari formalitas.
Kedua, rente lokal dan manipulasi program.
Di banyak tempat, koperasi hanya dijadikan alat konsolidasi politik. Dana hibah mengalir bukan karena kebutuhan anggota, melainkan karena kedekatan dengan elite lokal. Akibatnya, koperasi menjadi milik segelintir orang, bukan milik bersama.
Ketiga, minimnya transparansi dan literasi digital.
Sebagian besar warga bahkan tidak tahu apakah koperasinya masih aktif, sehat, atau hanya tinggal nama. Laporan disimpan dalam map lusuh, pengurusnya jarang terlihat, dan keanggotaan menjadi formalitas. Tidak ada sistem yang memantau, tidak ada ekosistem yang mengawasi.
Tiga luka ini tidak bisa disembuhkan dengan niat baik saja. Ia membutuhkan sistem yang bekerja, bukan hanya orang yang bergerak. Dan di sinilah AI punya peluang untuk menjahit ulang kepercayaan yang robek.