Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah resmi menetapkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) melalui Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025. Secara garis besar, TKA bertujuan untuk mengukur capaian akademik siswa pada mata pelajaran tertentu, baik di jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Sebagai guru sekaligus praktisi pendidikan yang pernah merasakan dinamika Ujian Nasional (UN), saya menyambut kebijakan ini dengan sikap kritis sekaligus penuh harap.
Belajar dari Ujian Nasional: Antara Standarisasi dan Tekanan
Sebagian dari kita tentu masih mengingat bagaimana Ujian Nasional pernah menjadi momok tahunan. Nilai UN dijadikan syarat kelulusan, bahkan penentu jenjang pendidikan berikutnya. Dampaknya? Siswa dipaksa menghafal, guru terjebak pada drilling soal, dan sekolah lebih sibuk memoles angka daripada memupuk karakter.
UN akhirnya dihapus, digantikan dengan Asesmen Nasional yang lebih menekankan pada literasi, numerasi, dan karakter. Namun kini, dengan hadirnya TKA yang mengukur kemampuan akademik siswa kelas 6, 9, dan 12, banyak pihak mempertanyakan: apakah kita sedang mundur ke belakang?
Sebagai guru, saya melihat bahwa kehadiran TKA bukanlah reinkarnasi UN secara utuh. Ada perbedaan krusial: hasil TKA tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan, namun berfungsi sebagai alat seleksi jalur prestasi dan penyetaraan pendidikan. Ini langkah yang lebih moderat dibanding UN yang dulu sakral.
Mengapa Tes Standar Masih Dibutuhkan?
Di tengah semangat Merdeka Belajar yang memberi keleluasaan pada guru dan siswa, muncul kekhawatiran bahwa kualitas pendidikan akan terlalu bervariasi antar daerah. TKA bisa menjadi benchmark nasional yang membantu memetakan kualitas akademik siswa dari Sabang hingga Merauke. Ini penting dalam konteks pemerataan mutu pendidikan.
Selain itu, TKA juga memberi pengakuan kepada siswa dari pendidikan nonformal dan informal. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 13, hasil TKA dapat digunakan untuk keperluan seleksi akademik dan penyetaraan hasil belajar. Ini adalah bentuk inklusivitas yang patut diapresiasi.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah potensi distorsi dalam praktiknya: apakah sekolah akan kembali terjebak pada orientasi nilai semata? Apakah akan lahir kembali industri bimbingan belajar dan latihan soal yang mengikis makna pembelajaran?
Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara maju tetap menerapkan tes standar, namun dengan pendekatan yang jauh lebih berimbang. Di Finlandia, misalnya, siswa tidak dibebani ujian nasional hingga jenjang akhir. Fokus mereka adalah pada asesmen formatif dan kepercayaan pada profesionalisme guru. Sebaliknya, Korea Selatan dan Jepang sangat bergantung pada ujian masuk universitas yang ketat, yang justru melahirkan krisis stres di kalangan remaja.
Amerika Serikat mengembangkan sistem standardized testing seperti SAT dan ACT, namun dalam beberapa tahun terakhir, banyak kampus ternama mulai bersikap opsional terhadap hasil tes ini, menyadari bahwa tidak semua siswa berkembang optimal lewat tes pilihan ganda. Artinya, tes standar bisa berguna jika tidak dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan. Di Indonesia, kita perlu memastikan bahwa TKA tidak menggeser semangat pendidikan holistik yang tengah dibangun.
Sebagai guru,mungkin ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, mendesain soal yang berorientasi pada berpikir tingkat tinggi (HOTs) dengan menghindari soal hafalan dan memilih soal yang mengasah nalar siswa. Kedua, perlu transparansi dan pembinaan guru. Sertifikasi TKA harus diikuti pelatihan guru dalam membuat asesmen berkualitas. Guru bukan hanya pelaksana, tapi juga perancang pembelajaran. Terakhir, Â jangan menjadikan TKA sebagai satu-satunya rujukan. Hasil TKA hanya digunakan sebagai salah salah satu data, bukan penentu mutlak. Asesmen dapat diintegrasikan dengan portofolio, asesmen formatif, dan penilaian karakter.