Pada 30 Maret 2025, dunia maya dihebohkan dengan aksi tidak terpuji dari seorang polisi Satlantas Polsek Gilimanuk yang nekat melintasi jalan saat umat Hindu merayakan Nyepi, sebuah hari suci yang dilaksanakan dengan penuh keheningan. Aksi ini bukan hanya mengganggu perayaan, tetapi juga memperlihatkan kurangnya sikap toleransi terhadap kerukunan umat beragama yang seharusnya dijaga. Kejadian ini semakin memprihatinkan karena oknum polisi tersebut diduga dalam pengaruh minuman keras, sebuah tindakan yang tentunya bertentangan dengan etika dan profesionalisme yang diharapkan dari seorang aparat penegak hukum.
Perilaku oknum polisi ini menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan wewenang oleh anggota Polri, yang bertindak tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pada momen yang seharusnya dipenuhi dengan rasa saling menghormati antarumat beragama, tindakan tersebut malah menunjukkan sisi lain dari kepolisian yang seharusnya menjadi contoh dalam menjaga kedamaian dan toleransi. Kejadian ini menimbulkan kekecewaan besar, mengingat Polri sebagai lembaga penegak hukum justru tidak memberi contoh yang baik bagi masyarakat.
Kapolres Jembrana, AKBP Endang Tri Purwanto, segera mengambil tindakan dengan melakukan mediasi dan mengamankan oknum tersebut. Meskipun begitu, insiden ini menggambarkan betapa pentingnya perubahan dalam pengawasan internal Polri. Tindakan seperti ini, jika tidak ditindak tegas, akan merusak citra Polri di mata masyarakat. Hal ini semakin menguatkan argumen bahwa RUU Polri yang sedang dibahas perlu evaluasi lebih mendalam, karena memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Polri tanpa peningkatan pengawasan internal dapat memperburuk situasi ini.
Penanganan terhadap oknum polisi tersebut akhirnya diserahkan kepada Propam Polres Jembrana setelah diinterogasi dan mengakui bahwa ia berada di bawah pengaruh minuman keras. Kasus ini menggarisbawahi masalah lebih besar yang dihadapi Polri dalam hal disiplin dan pengawasan terhadap anggotanya. Seiring dengan pembahasan RUU Polri yang memberikan kewenangan lebih besar pada institusi kepolisian, kejadian-kejadian seperti ini harus menjadi bahan refleksi untuk memastikan bahwa Polri lebih fokus pada perbaikan internal daripada memperluas kekuasaan mereka.
RUU Polri yang sedang dibahas juga menunjukkan adanya potensi peningkatan kekuasaan Polri yang bisa berisiko mengarah pada penyalahgunaan wewenang, terutama jika tidak disertai dengan pembenahan internal yang kuat. Menjadi sangat penting bagi Polri untuk memperbaiki sistem pengawasan dan penegakan disiplin sebelum diberi kewenangan yang lebih besar. Tanpa kontrol yang memadai, institusi ini bisa terjerumus lebih jauh ke dalam praktik-praktik yang merugikan masyarakat, seperti yang terlihat dalam insiden ini.
Sementara itu, masyarakat mengharapkan agar insiden ini menjadi titik balik bagi Polri untuk lebih serius memperbaiki integritas dan profesionalisme anggotanya. Tindakan yang tidak terpuji ini harus dihadapi dengan sanksi tegas, yang tidak hanya mengirimkan pesan kepada oknum pelaku, tetapi juga menunjukkan bahwa Polri berkomitmen untuk menjaga kepercayaan publik. Dalam konteks ini, RUU Polri harus benar-benar memprioritaskan pembenahan internal dan transparansi, bukan sekadar memperluas kekuasaan yang bisa memperburuk hubungan antara Polri dan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI