Nama jalan memiliki nilai yang lebih dari sekadar penanda lokasi. Ia menjadi simbol penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa, negara, dan daerah. Oleh karena itu, penggantian nama jalan tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan jasa-jasa nyata tokoh tersebut serta aspirasi masyarakat setempat. Wacana mengganti nama Jl. Sumbawa di Blora menjadi Jl. Pramoedya Ananta Toer dalam rangka perayaan #SeAbadPram yang digagas oleh Pramoedya Ananta Toer Foundation dan komunitas Beranda Rakyat Garuda menimbulkan polemik. Penolakan masyarakat Blora terkait usulan ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran terhadap rekam jejak politik Pramoedya yang dinilai masih menimbulkan perdebatan ideologis di tengah masyarakat.
Pramoedya Ananta Toer memang tidak diragukan merupakan salah satu sastrawan besar Indonesia yang karyanya diakui luas. Namun, jasa di bidang sastra tidak dapat dipisahkan dari rekam jejak keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterlibatan ini menimbulkan kekhawatiran mengingat dampak ideologi tersebut dalam sejarah bangsa. Pasca peristiwa G30S/PKI, pemerintah Indonesia menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang dan melarang penyebaran ideologi komunisme serta Marxisme-Leninisme. Dalam kondisi ini, mengabadikan nama tokoh yang memiliki keterkaitan dengan Lekra dapat menimbulkan gesekan sosial dan menyinggung perasaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan trauma sejarah.
Penolakan masyarakat Blora menunjukkan bahwa banyak pihak lebih mendukung pengabdian nama jalan untuk tokoh-tokoh lokal yang telah berkontribusi nyata bagi daerah. Mereka merasa bahwa pengabaian terhadap jasa tokoh lokal yang telah berjuang dan berkontribusi untuk Blora adalah keputusan yang tidak adil. Lebih bijaksana jika penghormatan dalam bentuk nama jalan diberikan kepada tokoh yang telah berjasa tanpa kontroversi yang dapat memicu perdebatan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, simbol-simbol publik seperti nama jalan semestinya mampu merepresentasikan nilai-nilai yang tidak hanya membanggakan tetapi juga mempersatukan masyarakat.
Dalam menentukan nama jalan, diperlukan kriteria yang jelas dan adil. Tokoh yang diabadikan namanya tidak hanya harus memiliki jasa besar bagi bangsa atau daerah, tetapi juga bebas dari kontroversi yang dapat bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, simbol penghormatan seperti nama jalan dapat menjadi inspirasi positif dan mengukuhkan semangat persatuan. Pemerintah daerah seharusnya mendengarkan suara masyarakat dan memastikan bahwa keputusan penggantian nama jalan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek sejarah dan kebutuhan menjaga keharmonisan sosial.
Menghormati sejarah tidak berarti melupakan peristiwa-peristiwa kelam yang pernah terjadi. Justru, upaya ini harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak menimbulkan luka baru di tengah masyarakat. Menghindari tokoh yang memiliki keterlibatan dengan ideologi yang telah dilarang adalah bagian dari menjaga rasa keadilan bagi mereka yang pernah menjadi korban konflik ideologi tersebut. Di sisi lain, mengabadikan nama tokoh lokal yang berjasa dapat memperkuat kebanggaan masyarakat setempat sekaligus menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dan masyarakat harus bersama-sama bersikap selektif dalam menentukan nama jalan. Memilih tokoh yang memiliki kontribusi besar tanpa kontroversi ideologis adalah langkah yang bijak untuk menjaga harmoni sosial dan memupuk rasa nasionalisme. Dengan demikian, nama jalan tidak hanya menjadi simbol penghormatan, tetapi juga representasi semangat persatuan serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI