Mohon tunggu...
Aryanti Dwi Astuti Daeli
Aryanti Dwi Astuti Daeli Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis adalah caraku bercerita saat mulut tak bisa bicara.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepalaku Penuh, Tapi Aku Tak Tahu Harus Bilang ke Siapa

31 Juli 2025   19:35 Diperbarui: 31 Juli 2025   19:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak yang sedang memegang kepalanya (Sumber: Freepik. com))

Hari itu, kepalaku sangat terasa berat. Bukan karena demam atau kurang tidur, tapi karena banyak hal yang lalu lalang di pikiranku. Tugas sekolah yang menumpuk, suara orang-orang dewasa yang menyuruh ini dan itu, belum lagi masalah yang terasa di usia segini. Aku hanya bisa diam di sudut kamar, memeluk lutut sendiri dan berharap agar semua ini segera reda.

Aku masih anak-anak, tapi isi kepalaku tidak bisa berbohong. Banyak yang bilang, "Ah, kamu masih kecil, belum rasain masalah." Tapi apa yang mereka tahu? Mereka hanya bisa menilai ketika nilai ujian jelek. Itulah yang membuatku takut pulang. Ketika teman satu-satunya mendadak berubah menjadi dingin? Ketika aku harus terlihat baik-baik saja hanya karena aku selama ini diandalkan.

Aku tidak tahu harus cerita sama siapa. Kadang aku hanya bisa mengeluarkan isak tangis di depan orangtuaku, tapi mereka tampak lelah, sibuk dan cepat naik suara. Guru? Mereka hanya terlalu sibuk menyuruh dan menilai. Teman? Aku takut jika mereka menganggap aku terlalu lebay atau malah menjadi bahan tawaan mereka.

Jadi aku memilih untuk diam. Aku tulis semuanya dalam buku catatan yang tidak seorang pun tahu. Aku gambar wajah-wajah orang yang aku sayangi yang hanya bisa kudekati melalui imajinasi. Aku pura-pura tidur lebih awal, padahal isi kepalaku masih berpikir keras sampai larut malam.

Kupikir, kemungkinan anak seusiaku diluar sana merasakan hal yang sama. Sama-sama penuh di kepala, tapi tidak ada jawaban untuk meringankan beban itu. Sama-sama tersenyum, padahal hati sedang kacau.

Terkadang, aku hanya berharap ada sosok yang ada di sampingku dan berkata, "kamu boleh cerita. Aku dengerin, kok." Bukan untuk dinasehati, bukan untuk disalahkan. Hanya mau didengarkan. Mungkin itu sudah lebih dari cukup untuk membuat isi kepalaku menjadi lebih ringan.

Sebab menjadi anak bukan berarti bebas dari rasa lelah. Dan menjadi kecil, bukan berarti masalahku kecil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun