Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Still a wordsmith.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menengok Konsumen dalam Komersialisasi Pendidikan

14 November 2017   21:50 Diperbarui: 14 November 2017   22:03 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

ditulis 14 Juli 2017

Sekitar tiga abad lalu, Adam Smith mengungkapkan teori Invisible Hand. Melalui pandangan tersebut, orang memahami pasar sebagai entitas yang tak perlu diatur. Harga akan muncul dengan sendirinya, tangan tak terlihat mengaturnya. Seabad kemudian, Karl Marx muncul dan mengungkapkan hal lain: Pengaturan pasar diperlukan untuk kepentingan sosial.

Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia dipenuhi ironi. Banyak pelajar mulai mengkritisi sistem pendidkan di Indonesia yang buruk. Menurut mereka, sekolah bukanlah jalan menuju kesuksesan. Opini inipun diperkuat oleh kalangan orang ternama yang gagal pada masa sekolah namun telah membuktikan kesuksesannya. Ironisnya, mengapa jumlah pendaftar sekolah dan perguruan tinggi malah bertambah?

Ironi lain juga ditunjukkan oleh beberapa sekolah dan perguruan tinggi yang menolak ratusan bahkan ribuan calon pelajar karena daya tampung sudah penuh. Namun, di sisi lain beberapa sekolah malah memiliki jumlah pendaftar yang hanya satu digit karena kurang diminati.

Soal mengapa mereka berperilaku seperti ini, dijelaskan oleh Daniel Katz melalui teori fungsionalnya pada perilaku konsumen. Salah satunya adalah alasan ego-defensive. Pada alasan ini, fungsi mengenyam pendidikan bagi pelajar didasarkan oleh desakan lingkungan dan perasaan internalnya. Jika mereka tidak bersekolah, lingkungan akan mengecamnya, memicingkan mata ketika melihatnya. Tidak bersekolah akan menimbulkan gejolak dalam dirinya.

Sebagai contoh, seseorang yang duduk di bangku SMA favorit di kotanya, banyak yang tertekan untuk mendapatkan tempat kuliah favorit. Hal ini disebabkan senior dan teman seangkatannya mayoritas mendapatkan tempat kuliah favorit pula. Perasaan terintimidasi tidak dapat dihindarkan ketika gagal mendapatkan apa yang didapatkan lingkungan sekitarnya.

Perasaan terintimidasi juga muncul ketika seseorang ingin memutuskan pendidikan SMA karena menurutnya yang dipelajari tidak akan digunakan di masa depan. Untuk melindungi diri dari tragedi tersebut, orangpun tetap menggunakan jasa pendidikan meskipun dengan membayar harga lebih disertai dengan mencemooh sistem pelayanannya.

Selain alasan ego-defensive juga terdapat alasan value-expressive. Pada poin ini, fungsi mengenyam pendidikan dititikberatkan untuk meningkatkan nilai-nilai dan identitas sosial seseorang. Ini merupakan salah satu alasan mengapa terjadi kesenjangan jumlah pendaftar pada beberapa sekolah. Pasalnya si peringkat terbawah di sekolah favorit, ketika bertemu seseorang yang menanyakan sekolahnya dimana, respon selanjutnya akan sama: "Wah, pasti pintar ya!"

Sedikit bercerita, terdapat seseorang yang rela kembali mengikuti tes tulis masuk perguruan tinggi. Targetnya adalah jurusan yang sama yang ia dapatkan di tahun sebelumnya. Hanya perguruan tingginya yang berbeda. Ia tidak puas jika tidak mendapatkan perguruan tinggi yang katanya terbaik di Indonesia. Ia mengaku, alasannya ada dua, yaitu prestise dan prospek perguruan tinggi. Dalam kasus ini, berdasarkan teori Daniel Katz, ia memfungsikan pendidikan pada value-expressive dan knowledge.

Knowledge function merupakan fungsi mengenyam pendidikan yang banyak dibenarkan masyarakat. Mereka yang menggunakan pendidikan pada fungsi ini, cenderung mencari informasi terlebih dahulu terhadap sekolah yang akan didaftarinya. Jika lulusan yang sudah-sudah sesuai seperti yang diharapkannya, ia akan mendaftar. Yang menjadi pertanyaan mereka sering kali adalah prospek kerja, data persebaran alumni, dan prestasi sekolah.

Melalui perspektif knowledge function, sekolah dipahami sebagai perusahaan jasa investasi. Biaya pendidikan akan sukarela dikeluarkan karena mereka yakin akan panen ketika tiba saatnya. Sekolah diibaratkan perusahaan yang menawarkan proses lanjutan agar nilai suatu barang bertambah. Telur menjadi mayones, susu menjadi keju, sarjana menjadi master.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun