Barangkali sawah-sawah terakhir di pingiran kota Bandung sedang menunggu takdirnya untuk lenyap. Desakan "Pembangunan" yang begitu cepat seakan menghapus segala kisah sawah-sawah yang pernah menjadi tonggak utama bangsa ini yang menamakan diri negara agraris. Pembangunan melaju di tengah dunia yang meminjam istilah Anthony Giddens runaway world (dunia yang tunggang langgang). Sawah-sawah terakhir di Kota Bandung seakan menjadi saksi bisu mantra pembangunan tersebut.
Kita tak mengetahui lagi bagaimana nasib para petani yang tersisa atau yang kehilangan tanah leluhur dengan sejuta kisah. Bandung berkembang pesat, jalan di tambah, kendaraan padat merayap, warga yang tumbuh dengan masif. Perluasan kota menjadi sebuah keniscayaan, pemukiman bertambah beriringan dengan berkembangnya kota. Ia menjadi kota industri, kota pendidikan, pusat pemerintahan, pusat bisnis. Dan seakan kita merasa sekali lagi dengan meminjam Giddens seolah kita ada dalam sebuah "juggernaut" (truk besar) yang meluncur tanpa kendali. Kita tahu bahwa perkembangan kota tak terkendali menyebabkan berbagai risiko. Persoalan pelik yang dihadapi warga kota termasuk di Bandung seperti persedian air bersih yang terbatas bagi warga kota. Hal ini karena kerusakan air tanah, pencemaran sungai sudah sedemikian parah. Sementara itu bila musim penghujan tiba maka banjir menjadi persoalan berikut yang harus dihadapai segenap warga kota.
Kita seakan berada dalam juggernaut kota Bandung ini, kita mengetahui bahwa pembangunan(isme) yang tak memiliki perencanaan yang ekologis bisa menghancurkan kota. Itu berarti akan menghancurkan manusia itu sendiri. Namun, kita seakan tak tahu lagi bagaimana perbaikan itu dimulai. Mulai dari diri sendir! Kedengaran menjadi mantra penghibur. Banjir, kemacetan, kualitas udara yang kian tercemar menjadi beban bagi kota ini.
Dan kembali pada lahan persawahan yang menanti takdir. Tanah di Bandung Timur, Barat, dan Selatan yang tadinya merupakan hamparan sawah telah tiada. Masih ada beberapa petak sawah tersisa walaupun di tengah sawah tersebut sudah ada tulisan "dijual". Barangkali pemilik lahan tak lagi mempunyai pilihan. Menggarap lahan di tengah kepadatan penduduk, dengan sumber air yang rata-rata telah tercemar menjadi persoalan tersendiri. Hasil persawahan menjadi tak maksimal sementara berbagai ongkos menggarap sawah kian mahal.
Bandung dengan sisa persawahan tetap memiliki pesona dan kisah tersendiri. Barangkali 5, 10 sampai 50 tahun ke depan kisah persawahan di kota Bandung hanya ada dalam tulisan. Tetapi lebih dari itu nasib para petani pun tak ada yang tahu. Di tengah dunia yang gemerlap dengan kemajuan, kebanyakan para petani tetap ada dalam kesulitan. Kadang kesulitan itu semakin menindih kian berat.
Namun, kita berharap ada kesadaran bersama yang kian kuat yang muncul di tengah kehancuran ini. Harapan kebersamaan untuk memperbaiki hidup bersama sekecil apapun perlu dipelihara dengan keringat dan air mata. Semoga mentari pagi tetap memberi harapan akan masa depan yang lebih baik itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI