Dalam beberapa tahun belakang, kasus korupsi di Indonesia menyeret sejumlah artis perempuan ternama. Kebanyakan mereka terseret akibat menerima aliran dana korupsi. Alasan mereka untuk mengelak dengan berujar jika mereka tidak tahu sumber dananya dan semuanya hampir sama seperti itu. Sungguh aneh bagi kita mendengar alasan seperti itu, bagaimana mungkin kita menerima uang yang cukup besar tanpa bertanya asal uang itu dari mana. Sifat-sifat konsumtif mungkin bisa menjadi penyebab utama acuhnya para perempuan tersebut dalam kasus penerima aliran dana korupsi.
Bagi pejabat negeri ini, tampaknya memang harus berhati-hati dengan urusan tentang perempuan. Sudah banyak politisi negeri ini yang terlibat affairs dengan wanita cantik pesohor negeri ini. Bahkan ada politisi dari sebuah partai Islam yang cukup besar terlibat hubungan asmara dengan model panas. Jujur sebagai umat muslim saya malu. Tapi itu adalah logika pasar saat ini, ketika kekuasaan dan kedudukan dapat menghasilkan uang, uang tersebut digunakan sebagai pemuas nafsu manusia yang tidak pernah berbatas. Sebenarnya bukan saat ini saja, wanita dapat menjatuhkan seorang birokrat. Di tarik ke tahun 10 Juni 1966, rakyat Jakarta termobilisasi oleh mahasiswa-mawasiswa kampus Depok untuk mendeklarasikan Tritura. Dalam demo tersebut, banyak para demonstran membawa poster yang bertulisan menyentil pemimpin negeri ini pada waktu itu yang memiliki istri lebih dari satu. Hebat bukan peranan wanita dalam menjatuhkan seorang politisi?
Tidak hanya menjatuhkan politisi tapi juga terlihat agak sedikit blong soal politik bagi perempuan yang terjuan ke politik. Saya mengambil contoh, seorang artis dangdut terkenal yang dicalonkan oleh partai islam. Saat ditanyai masalah syariat dan ideologi partainya di sebuah acara televisi, dirinya terlihat kosong tidak tahu menahu. Saya kemudian mengambil kesimpulan, mungkin wanita tersebut dicalegkan oleh partainya karena nama besar, punya kekuatan (uang) tapi hanya sebagai pemenuhan kouta 30% caleg perempuan oleh partainya sebagai tindakan affirmative. Karena kalau diteliti juga bahwa wanita tersebut dicalonkan di dapil yang bukan basis partai tersebut, apakah wanita tersebut tidak belajar dan mengerti percaturan politik negeri ini? Sungguh besar bukan kekuatan perempuan cantik?
Wanita selalu ditempatkan dalam posisi bahwa mereka selalu menjadi salah satu alasan utama citra politisi bisa hancur, selain uang dan tahta. Kemudian sampai kapan wanita mau diletakan sebagai bagian dimana dia bisa menjatuhkan martabat dan harga diri laki-laki sebagai pemimpin? Dari sejarah tidak seharusnya wanita menjadi seperti ini. Di Cina pada masa sejarah klasik, Dinasti Han, para permaesuri memegang peran penting dalam naik tahtanya seorang raja. Waktu itu tokoh-tokoh perempuan di Cina seperti Lu Zhi dan permaesuri Wu. Di Inggris ada Margaret Theacher, yang menjadi salah satu perempuan sekaligus Perdana Menteri Inggris yang cukup di kenang. Di Indonesia kita memiliki Kartini yang memilih jalan menjadi dialektis ketimbang harus meladeni suami terus menerus. Ke angkatan 28, ada Dewi Sartika yang mampu merancang pergerakan wanita yang akhirnya diperingati sebagai hari ibu. Kini hanya ada pertanyaan di benak saya, masihkan perempuan Indonesia saat ini lebih memilih untuk besolek diri untuk menarik pria dan justru terlihat rendah atau menjadi cerdas untuk menjadi salah satu penentu arah kebijakan negeri ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI