A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial tidak hanya menjadi tempat berbagi informasi atau hiburan, tetapi juga menjadi arena penting bagi anak muda untuk menyuarakan ketiakadilan sosial. Salah satu fenomena yang viral adalah kampanye dengan tagar #SpeakUp. Gerakan ini digunakan oleh pemuda, terutama Perempuan, untuk membagikan pengalaman kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi berbasis gender yang mereka alami, baik di ruang publik fisik maupun digital. Fenomena ini menjadi perpanjangan dari kebutuhan ruang aman yang sulit ditemukan di dunia nyata. Media sosial menjadi alternatif yang memungkinkan para penyintas bersuara tanpa harus mengalami proses hukum atau sosial yang sering menyudutkan mereka.
Menurut laporan Konde.co, media sosial kini menjadi ruang baru bagi korban kekerasan seksual untuk speak up karena lembaga formal sering gagal memberikan keadilan atau justru menyalahkan korban. Bahkan, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan ke pihak berwenang karena korban takut dipersalahkan atau tidak dipercaya. Dalam konteks ini, media sosial menyediakan ruang ekspresi yang lebih terbuka dan suportif, di mana korban bisa mendapatkan dukungan moral dari sesama pengguna.
Platform seperti Twitter dan Instagram memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan membangun solidaritas digital terhadap isu-isu kekerasan seksual. Kampanye semacam #SpeakUp, #MeToo, dan #AllMenAreTrash menjadi semacam "perlawanan simbolik" (symbolic resistance), yang menurut sosiolog Pierre Bourdieu, adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi simbolik dalam masyarakat patriarkal.
Gerakan #SpeakUp menjadi simbol dari pergeseran cara masyarakat muda memperjuangkan hak dan keadilan, menggunakan teknologi sebagai alat resistensi. Di tengah lemahnya sistem hukum dalam menangani kekerasan seksual, anak muda memanfaatkan ruang digital untuk membangun narasi alternatif yang mengedepankan keberanian, solidaritas, dan kesadaran gender. Media sosial membentuk ruang diskusi baru yang memperluas partisipasi warga dalam isu-isu sosial. Namun demikian, muncul pula pertanyaan kritis: Apakah media sosial benar-benar efektif sebagai ruang aman dan alat perubahan sosial? Atau justru menghadirkan risiko baru seperti doxing, victim blaming, kekerasan digital, serta retraumatisasi bagi para korban?
 Laporan Kompas.com (2021) mencatat bahwa banyak korban akhirnya menutup akun media sosial atau mundur dari ruang publik digital karena tekanan psikologis pasca speak up. Fenomena ini memperlihatkan bahwa walaupun media sosial memberikan akses untuk berbicara, ia juga bisa menjadi arena baru kekerasan ketika publik tidak siap menjadi pendengar yang adil dan empatik. Selain itu, tidak semua platform menyediakan perlindungan yang cukup bagi korban dari penyebaran data pribadi atau serangan digital.
Di sisi lain, munculnya kampanye digital ini memunculkan bentuk pendidikan alternatif yang tidak hanya datang dari sekolah, tetapi juga dari pengalaman sosial dan interaksi di dunia maya. Generasi muda mulai belajar tentang kesetaraan gender, hak tubuh, dan batasan pribadi melalui narasi-narasi yang viral dan dikemas secara komunikatif. Namun, tanpa literasi digital dan pendidikan yang memadai, informasi yang menyebar bisa menjadi bias atau bahkan memperparah stigma terhadap korban.
Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji secara sosiologis karena menyangkut isu kekuasaan, identitas, struktur sosial, dan transformasi ruang publik. Menurut Erving Goffman dalam teorinya tentang "presentation of self", media sosial memberi ruang bagi individu untuk mengelola impresi mereka, termasuk untuk membentuk identitas sebagai penyintas atau aktivis. Namun, pengelolaan identitas ini juga rentan terhadap kontrol sosial yang keras dari masyarakat digital.
Selain itu, penting pula merefleksikan bagaimana dunia pendidikan merespons dinamika ini, khususnya dalam membentuk karakter dan kesadaran kritis generasi muda. Dunia pendidikan tidak hanya berperan sebagai institusi pembelajaran, tetapi juga harus menjadi ruang aman yang membekali siswa dengan pemahaman kritis terhadap isu gender dan kekerasan seksual. Kurikulum yang responsif gender, pelatihan guru, serta layanan konseling yang mendukung adalah bagian dari respons struktural yang perlu diperkuat.
Gerakan #SpeakUp tidak terjadi di ruang hampa. Ia tumbuh dari kebutuhan kolektif akan pengakuan, keadilan, dan keamanan, yang selama ini kurang dipenuhi oleh struktur sosial formal. Oleh karena itu, memahami gerakan ini memerlukan pendekatan multidisipliner, termasuk sosiologi, studi gender, komunikasi, dan pendidikan. Hanya dengan begitu kita dapat menilai secara utuh bagaimana media sosial berfungsi sebagai alat perjuangan sekaligus tantangan baru dalam menghadirkan ruang publik yang lebih adil dan setara.
B. Analisis Sosiologi
- Analisis Berdasarkan Teori Erving Goffman: