Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Apa Motif Faisal Basri Menohok Jusuf Kalla?

18 Mei 2014   16:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JANGAN berimaji bahwa saya hendak membongkar apa motif Faisal Basri di balik dua artikel beruntun -menguliti Muhammad Jusuf Kalla- di Kompasiana. Ya, kebohongan seorang Jusuf Kalla. Artikel itu dirambah ribuan pembaca, secara psikologik artikel ini super menarik untuk ditandangi, pulalah memantik taste penasaran yang teramat menjulang akan misteri 'perampokan bank oleh pemiliknya sendiri' versi Jusuf Kalla. Dan ini perkara uji ketokohan seorang Jusuf Kalla, yang populer gaya bahasa blak-blakannya.

Berpuluh kali saya mencermati artikel Faisal Basri, ada rasa 'takut' untuk memberi tanggapan, sebab Faisal Basri bukan penulis kacangan, pun bukan tokoh sembarangan yang hadir di media ini. Takut jika komentarku di-counter attack oleh Faisal Basri. Maka saya pasti keok level 900. Ha ha ha.

Sebab soal yang dituliskannya, saya jauh dari menguasai topik yang dipaparkannya itu. Ketakutanku luluh oleh kemanusiaanku, oleh jiwa kepenulisan dan panggilan untuk berpendapat sekaligus untuk mempertanyakan akan hadirnya artikel yang Hot Topic itu.

Nampaknya Faisal Basri geram-geraman ke Jusuf Kalla, dan saya sangat salut atas fakta-fakta yang dibentangkan oleh Faisal Basri (Perkara SMS, Kalah Kliring dan lain-lain). Kata "Kebohongan" menjadi magnet artikel beliau ini, tiada kesan kasar tetapi cukup keras artikel itu yang ditujukan kepada putra kelahiran Bone, Sulawesi Selatan yang juga tamatan Strata Satu (S1) Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin itu yang semasa menjadi aktivis Unhas setia dengan jabatan bendaharanya (efek ayahnya: Hadji Kalla, pengusaha sukses kala itu). Sebagai catatan, penulis berjumpa dengan Jusuf Kalla di sebuah masjid, penulis ulurkan tangan dan berkata: "Puraini Daeng". Saya meyakini bahwa Jusuf Kalla menangkap maksud kata-kataku itu. Puraini (cukuplah, red) identik dengan beristirahat dari panggung politik, dan rehat dari calon-menyalonkan sebagai R1 atau R2 dan jeda dari urusan partai. Argumentasiku: Jusuf Kalla sudah cukup uzur, dan berharap menyisakan usianya untuk anak-anak dan belasan cucunya.

Bohong dalam ensiklopedi Bugis adalah belle, secuil tindak tanduk yang teramat memalukan. Ditakdirkan menjadi etnik Bugis-Makassar, sayapun turut malu atas kebohongan Jusuf Kalla itu. Terlepas dari kebohongan itu adalah bohong putih atau bohong hitam. Saya tak piawai membahas soal dua jenis kebohongan ini. Yang pasti, saya malu atas terjungkalnya martabat setanah air yang kebetulan berasal dari Sulawesi.

Dan, ketika saya menelisik artikel Faisal Basri (sebagai seorang akademisi flamboyan dari Universitas Indonesia), maka saya sangat mahfum, sebab akademisi setia dengan dua kata: Benar atau Salah akan suatu peristiwa, kejadian semisal potret perbankan, ekonomi, korupsi ataukah dinamika politik.


Dan, ketika saya (lagi) mencermati artikel Faisal Basri (sebagai seorang politikus, mantan dewan pengurus pusat sebuah partai), lagi-lagi saya super memaklumi bahwa artikel itu 'layak' dipublikasi sebab filosofi politikus versi Bugis (naskah daun lontar), bahwa tiga atraksi politik yang kerap didramakan:

Ri Mulanna Belle-Belle (awalnya dusta-dustaan),

Ri Tengngana Bali Balla (di tengahnya berdiri di dua sisi; kawan dan lawan)

Ri Cappa'na Melle Perru' (di tepinya tega-tegaan)

Lebih lanjut lagi fakta ini dilafazkan dalam bentuk lain (Golla Ri Mulanna: Awalnya manis), (Kaluku Ri Tengngana: manisnya berkurang) dan (Paria Ri Cappa'na: Ujungnya kepahitan). Siklus politik bagi orang Bugis-Makassar adalah negatif, buruk dan keji. Tak sesuai dengan makna politik itu sendiri yang menyebutkan adanya tujuan tercapai dengan cara-cara yang baik dan bijaksana. Hingga siapa yang korban politik bagi orang Bugis-Makassar disebut dengan Ipolitiki (korban politik, red).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun