Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seks atau Porno?

6 Januari 2015   03:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:44 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420463106881452326

[caption id="attachment_388727" align="aligncenter" width="300" caption="www.dreamstime.com"][/caption]

BILA saya berbincang tentang anatomi-fisiologis payudara yang sedang terstimulasi oleh faktor eksternal, dan genitalia maskulina seumpama Mr.P yang sedang teraliri darah yang membuatnya mengeras. Maka, ini bukanlah porno. Dan, jika saya berbincang mengenai seorang pria -maaf- membuka Bra istrinya dengan pelannya, menyentuhnya dengan sangat halus, penuh kehangatan, segenap gairah. Berikutnya, pria itu sukses membuat istrinya menggelinjang dengan nafas terengah-engah. Maka ini pembahasan porno.

Ada pameo seperti ini: Bicara seks tak harus porno. Kalimat ini mudah dicuapkan, tetapi betapa sulit implementasikan. Kenapa, karena seks dan porno bertalian. Pembedanya hanyalah faktor fisiologi (kesehatan reproduksi) dan eroticsm factor.

Cermat

Sungguhlah artikel ini, terjauhkan dari urusan menggurui. Penulis cumalah cemas ringan akan tayangan-tayangan publikasi seksualitas, di blog 'orang dewasa' ini. Perlu kehati-hatian ekstra untuk membincang perkara seksual, di sini. Jangan sampai yang kita anggap artikel seksual padahal yang terkesan kuat adalah tulisan pornografi yang dibalut dengan simbol artikel seksologi. Tiada yang sensitif di blog ini, penulis yang kerap membuat pembaca sensitif dan tersentil bahkan tersinggung. Di sini banyak kaum ibu, komunitas perempuan yang respek diam-diam atas artikel seksologi demi pengayaan wawasan. Dan, kaum ini tak cukup tahan untuk memlototi artikel yang beraroma pornografi. Inipun anggapan yang wajib diperbaharui bahwa di sini, pun banyak kaum ayah, kelompok bapak-bapak, yang juga menganggap artikel seksual itu bermanfaat untuk penambahan ilmu. Jangan sangka bahwa kaum ini latah, mereka pun (termasuk saya) tak merespeki artikel yang mengartikulasikan kemulusan-kemulusan tubuh perempuan dan keketatan otot lelaki, gagah-kuat-hebat.

Artikel seksual tiadalah mengundang pembaca untuk berfantasi seks, dan bedalah dengan artikel pornografi yang tujuannya (mungkin?) mengarahkan pembaca untuk berkhayal-khayalan, berimaginasi couple. Artikel seksual boleh ditulis oleh siapa saja, sesuai fakta pengetahuannya. Semisal, artikel seks itu, dipandang dari sisi sosial budaya, ditilik dari agama, dan disorot menurut pandangan empirik. Inilah yang terkategori artikel seksologi, memanfaatkan pengetahuan dalam rangka menguatkan pemahaman fungsi alat kelamin primer dan sekunder. Termasuk teknik dan terapi akan lemahnya 'oderdil-onderdil' itu.

Pembeda

Artikel seks dan porno, keduanya sama. Temanya identik: SEKS. Tetapi memiliki pembeda, permbeda itulah tergeletak pada pasokan bahasa, intake kata-kata dan jelmaan kalimat. Artikel seks itu berbahasa terbuka, mengisahkan percintaan dengan edukatifnya, mekanisme foreplay dan kiat mengakhirinya, cara senggama yang safety sesuai guide dalam reproduction health. Artikel porno tidaklah demikian, ia asyik menghiaskan bahasanya, alur kisahnya membuncahkan kesan kegairahan, erotistik dan fantasi seks, berkelebat.

Pembeda lainnya, bila membaca artikel seks, seolah-olah kita sedang disajikan slide fungsi-fungsi organ vital, mekanisme dan sistem persarafan penopang energi seksual. Sedang artikel porno berlabel seks, laksana kita diajak menonton audio-visual yang di sana disajikan sedemikian rupa, hingga mengumpan syahwat penonton (pembaca, red). Itulah persamaan sekaligus perbedaan antara artikel seks dengan artikel porno.

Penutup

Segala kalimat yang terungkap dalam tulisan Kompasianer Makassar ini, bukan bermaksud apa-apa selain visi-misi edukasi seks dalam setiap tulisan seks, di blog tersayang ini. Semoga kita saling mengerti bahwa konsumen Kompasiana itu heterogen -mulai orang tua, orang dewasa, remaja- yang mungkin saja mereka penyuka Kompasiana. Malahpun, ada anak menuju remaja yang kerap membuka Kompasiana untuk sekedar membaca artikel ayahnya. Dialah anakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun