Baru saja saya melangkahkan kaki ke dalam mushola seraya memanjatkan do'a untuk dibukakan pintu rahmatNya, sementara Abah Endin mulai terdengar mengumandangkan adzan di dekat mimbar, Kang Ajengan yang sudah berada dalam mushola tiba-tiba menghampiriku seraya berbisik.
"Tolong nanti beritahu Abah Endin supaya memperbaiki bacaan adzannya," ujarnya di telinga saya.
Mendengar hal itu, tentu saja saya kaget dibuatnya. Apalagi maunya Kang ajengan ini. Masalah adzan saja sampai-sampai harus dipermasalahkannya. Memintaku pula. Padahal kalau memang ada yang keliru, atawa ada yang kurang sempurna dari lafaz adzan Abah Endin, seharusnya Kang ajengan sendiri yang menegurnya. Bagaimana pun dia lebih tahu hal itu.Â
Apalagi usia Kang Ajengan dengan Abah Endin hampir sebaya. Sedangkan saya kan lebih muda dari keduanya. Meskipun memang Abah Endin lebih akrab denganku, tetapi kalau bicara menyangkut  hal yang sifatnya teguran sepertinya tidak bijak juga. Bahkan aku merasa khawatir Abah Endin akan teringgung apabila aku melaksanakan permintaan Kang ajengan seperti itu. Bukankah orang seusia mereka perasaannya lebih sensitif kalau sudah menyangkut hal kepribadiannya?
Bagaimanapun memang benar dalam melafazkan adzan, selain suaranya agak fals, terkadang dalam melafazkan bacaannya pun suka terbalik-balik. Misalnya saja yang seharusnya melafazkan Hayyaa 'alash sholah jika selesai melafazkan dua kalimat syahadat itu, Abah Endin malah melafazkan bacaan Hayya 'alal falah. Entah karena lupa karena usia tuanya, entah karena terburu-buru karena ingin segera menuntaskan tugasnya itu.Â
Hanya saja yang jelas memang demikianlah adanya. Seluruh jamaah di mushola kami pun sudah mengetahui kekeliruan yang sering dilakukan muadzin tua kami itu. Untung saja tidak selalu begitu.
Bisa jadi Kang Ajengan sudah merasa harus segera memberitahukan kekelirun yang seringkali dilakukan Abah Endin itu. Hanya saja dia pun merasa risih juga untuk melakukannya. Selain mempertimbangkan masalah usia Abah Endin, juga di stu sisi Kang Ajengan merasa jika dia menegur Abah Endin, kemudian yang ditegur tidak menerima teguran itu, dan malah merasa tersinggung, lalu Abah Endin pun tidak mau mengumandangkan adzan lagi, maka yang rugi bukan hanya Kang Ajengan, bisa jadi seluruh jamaah pun akan merasakan dampaknya.Â
Paling tidak siapa lagi orang yang yang mau mengumandangkan adzan, terutama adzan di waktu shalat Subuh kalau bukan Abah Endin. Karena bagaimanapun selama ini hanya orang tua yang satu ini saja yang selalu datang paling awal ke mushola dibandingkan dengan yang lainnya.Â
Karena sepengetahuanku, meskipun aku berusaha ingin datang lebih awal, dan keluar dari rumah menuju mushola sekitar lima belas menitan lagi pada tibanya waktu Subuh misalnya, tokh tetap saja aku menjadi orang kedua setelah dia. Abah Endin selalu saya temui sudah duduk terpekur di keremangan, karena lampu di dalam mushola belum dinyalakannya.
Bahkan di saat sekarang ini saya malah jadi orang ketiga yang datang. Karena Kang Ajengan tidak biasanya justru jadi orang kedua. Padahal selama ini dia selalu datang paling belakang dibanding dengan anak-anak yang suka ikut berjamaah sekalipun.Â
Bahkan kami selalu saja harus menunggu lama kedatangannya. Sementara di masjid lain sudah sekian menit mengumandangkan iqamah, malahan bisa jadi sudah hampir menyelesaikan rakaat kedua, Kang Ajengan baru muncul di depan pintu mushola dengan sikap yang biasa-biasa saja. Misalnya merasa berdosa karena membuat jamaah harus menunggu lama misalnya.