Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karena Memang Sudah dari Sononya

30 November 2017   11:58 Diperbarui: 30 November 2017   12:52 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: waspada.co.id)

Desas-desus serupa dengungan lalat yang beterbangan mengerubungi bangkai tikus, begitu cepat tersiar di seantero kampung. Dedeh, janda beranak satu, belakangan ini kerap terlihat berduaan dengan seorang lelaki dari kampung sebelah. Malahan sering juga orang menyaksikan keduanya bertingkah layaknya sepasang suami-isteri. Sehingga tak sedikit warga yang menduga telah terjadi hubungan terlarang di antara dua anak manusia berlainan jenis itu.

Lalu desas-desus itu pun berkembang lebih jauh lagi. Andaikan benar dugaan itu sebagai suatu kenyataan,  di samping sudah mengotori kampung dengan aib yang sungguh memalukan, tentu saja keluarga dan tetangga Dedeh pun harus ikut juga menanggung beban. Paling tidak menyisihkan sebagian makanan yang mereka berikan kepada janda beranak satu itu,  beberapa bulan kemudian akan bertambah saja. Ya, seandainya benar Dedeh telah melakukan perzinaan, kemudian hamil akibat perbuatannya itu. Karena selama ini, mereka sudah merasa terbebani . Apa lagi jka nanti ditambah satu jiwa lagi.

Bisa jadi persoalan tidak akan selesai di situ saja. Andaikan kelak bayinya sudah lahir, keluarga dan tetangga dekatnya mana mungkin akan tinggal diam begitu saja. Mulai dari membantu proses kelahiran hingga mengurus bayinya, sudah barang tentu menjadi kewajiban mereka juga. Karena dosa besar bagi mereka jika abai terhadap hal semacam itu yang jelas terjadi di depan mata. Bagaimanapun janda beranak satu itu harus mendapat pertolongan, sekaligus bantuan. Karena suatu hal yang mustahil Dedeh sendiri akan mampu mengurus bayi  secara normal sebagaimana biasanya. Buktinya sekarang saja, anak balita satu-satunya pun seolah dibiarkan begitu saja. mau mati, mau hidup baginya seperti masa bodoh. Seringkali warga melihat Dedeh asyik sendiri, sementara anaknya berlarian di tengah keramaian jalan. Kemudian ketika sebuah mobil hampir menabraknya, warga yang menyaksikan kejadian itu juga yang menolongnya. Dedeh sama sekali tak peduli.

Bagaimanapun warga di kampung kami sudah maklum. Dedeh selama ini sudah dianggap sebagai orang yang tidak waras, alias sudah hilang ingatan. Perempuan berusia sekitar 40-an itu sungguh mengenaskan sekali nasibnya. Setelah dicerai paksa oleh suaminya yang seorang pengacara, bisa jadi sebagai perkara yang menjadi penyebabnya. 

Dedeh adalah anak dari pasangan Mang Aceng dengan Bi Aisah. Kedua orang tuanya itu berjodoh saat Mang Aceng muda biasa mangkal di perempatan jalan desa sebagai tukang ojek. Sedangkan Bi Aisah kala itu menjadi pembantu di rumah Pak Mantri yang letaknya di salah satu sudut perempatan jalan itu.

Setelah berumah tangga,dan dikaruniai dua orang anak, Mang Aceng berhenti sebagai tukang ojek di perempatan jalan itu. Demikian juga halnya dengan Bi Aisah ikut mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga Pak Mantri. Ternyata keduanya boyong bersama anak-anaknya ke ibu kota Jakarta. Bisa jadi pasangan itu hendak mengadu nasib di kota dengan harapan agar kehidupannya lebih baik lagi dari semula. Konon di Jakarta Mang Aceng menjadi pedagang tahu,dan Bi Aisah pun bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Setelah sekian tahun tak terdengar kabarnya, keluarga itu kembali ke desa. Memang di mata warga ada perubahan yang berbeda dari keadaan semula. Setibanya di desa, keluarga itu bisa mendirikan rumah, meskipun hanya rumah panggung juga. Tidak menumpang lagi di rumah orang tua Bi Aisah seperti sebelumnya. Demikian juga kedua anaknya sudah berangkat remaja. Dibarengi penampilan orang kota tentu saja.

Karena mungkin sudah memiliki rumah sendiri, Bi Aisah tidak lagi ikut ke Jakarta bersama Mang Aceng yang masih menekuni usahanya berdagang tahu. Bi Aisah hanya mengurus rumah saja sebagaimana kebanyakan perempuan di desa kami. Kecuali kedua anaknya yang tetap mengikuti Mang Aceng. Karena kabarnya Dedeh sudah bekerja menjadi pelayan toko, dan adik lelakinya bekerja di pabrik tahu.

Selang beberapa tahun, keluarga Mang Aceng terdengar akan mengadakan pesta pernikahan Dedeh dengan seorang pria yang kabarnya berprofesi sebagai seorang pengacara. Untuk ukuran desa kami, pesta yang diselenggarakan Mang Aceng lumayan meriah. Terlebih lagi karena mendapat bantuan anggaran biaya yang cukup besar dari calon mantunya. Hanya saja anak gadis Mang Aceng  ternyata cuma dijadikan sebagai istri kedua saja. Tapi bagi keluarga itu, juga bagi sebagian warga, masalah itu bukanlah sesuatu hal yang perlu dibesar-besarkan. Sudah punya jodoh dengan orang yang sudah berumur sekalipun, asal berpenampilan keren dan tampak sebagaimana orang kaya, adalah suatu karunia yang patut dibanggakan.

Kebanggan keluarga Mang Aceng mempunyai menantu seorang pengacara, ternyata tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, warga melihat Dedeh pulang kampung seorang diri. Selain berpenampilan seroronok, perubahan lain kali ini yang terlihat warga dari anak perempuan Mang Aceng itu adalah perilakunya yang seringkali mondar-mandir di jalan sambil bicara tidak jelas  seorang diri. Kadang terdengar mengumpat, kadang terdengar terisak. Dan desas-desus pun berkembang. Dedeh sudah hilang ingatan gegara pernikahannya dengan pegacara itu ketahuan, dan dilabrak istri pertamanya. Dedeh kemudian diusir, dan diancam oleh madunya. Sementara di perut Dedeh sudah tumbuh janin yang beberapa bulan ke depan akan menjadi seorang bayi yang tentu saja tidak jelas nasibnya.

Keadaan Dedeh semakin hari, semakin menjadi-jadi. Terlebih lagi setelah dia melahirkan, jiwanya kian melayang entah dimana tersangkutnya. Untunglah Bi Asiah masih mampu mengurus kelahiran cucunya dengan sabar dan telaten. Sampai cucunya itu bisa merangkak, Bi Aisah tampaknya masih bertahan. Hanya saja saat Mang Aceng tergoda seorang janda tetangganya sendiri, Bi Aisah tampaknya sudah tidak lagi memperdulikan keadaan Dedeh dan cucunya. Setelah minta diceraikan, Bi Aisah pergi ke Jakarta. Dan sampai sekarang ini tak kembali lagi. Dedeh yang sudah hilang ingatan, dan cucunya yang masih belajar merangkak ditinggalkan begitu saja. sedangkan Mang Aceng sendiri seakan lupa diri, lelaki itu saban hari sibuk dengan istri mudanya. Kehidupan Dedeh dengan anak balitanya hidup terlantar, dan hanya belas kasihan sanak famili, juga tetangga di sekitar saja yang membuatnya masih mampu bertahan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun