Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tak Sejengkalpun Tanah Kami akan Dijual

13 Maret 2014   06:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saat menikmati coffee time, Subhan datang menghampiri. Semula tak kuacuhkan. Paling juga mau minta rokok, sebagaimana biasa kalau tanggal tua tiba. Tapi ternyata tidak. Dengan muka serius, Subhan mengaku kalau saat ini dirinya sedang punya bisnis. Tanpa modal uang, tapi bakal dapat untung lumayan besar. Begitu dia bilang. Kemudian dengan raut muka semakin meyakinkan, dikatakannya bisnis tersebut akan dapat berjalan lancar kalau aku pun ikut bergabung.

“Teman saya yang aktif di sebuah LSM mendapat kepercayaan dari seorang investor untuk mencari tanah di wilayah kita, “ jelasnya. “Luasnya sekitar 12 hektar, untuk areal penetasan ayam. Menurut survey yang sudah dilakukan oleh timnya, tanah di blok Pasir Kayumanis sudah cocok katanya. Teman saya itu lalu merekrut saya masuk di timnya. Mungkin karena saya dianggap lebih tahu tentang wilayah kita ini. Cuma terus terus terang saja, saya lebih percaya lagi sama Akang. Selain di blok itu Akang punya kebun, lagi pula Akang ini di kampung aktif sebagai ketua LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa),”

“Lalu ?”

“Selain akan mendapat keuntungan besar, ke depannya sudah tentu peternakan itu akan membutuhkan banyak tenaga kerja. Nah, untuk itu Akang dapat mengambil peran untuk meminta pengusaha itu agar merekrut warga desa kita sebagai tenaga kerja. Terutama dengan memprioritaskan pemilik kebun dan keluarganya yang telah menjual kebun miliknya. Dengan demikian, selain memberi lapangan kerja, juga tingkat kesejahteraan warga akan ada peningkatan pula...”

“Serius nih ? Kapan aku bisa bertemu dengan temanmu itu. Dan kalau bisa akupun ingin bertemu langsung dengan investornya itu,” tegasku tak kalah serius dengannya.

“Sebentar...”  sahutnya seraya merogoh ponsel dari kantong celananya. Kemudian Subhan pun menelpon seseorang.

Setelah beberapa saat bicara, Subhan menutup ponselnya. “Sepulang dari kantor Akang mau ke rumah teman saya bersama saya ?” katanta sambil memasukkan ponselnya ke kantong celananya.

“Memangnya rumah temanmu itu dimana ?”

“Di Landbouw, dekat rumah sakit.”

“Bolehlah, kita mampir dulu sebelum pulang,” sahutku sambil beranjak dari kursi, karena  waktu istirahat sudah habis. “Yuk, aku masuk masuk duluan,” aku pamitan karena kulihat Subhan masih asyik menikmati rokoknya.

Sungguh. Aku sama sekali tidak tertarik dengan ajakan temanku tersebut. Bukannya aku tidak tergiur dengan keuntungan besar yang dikatakan Subhan. Bukan. Terus-terang dalam hal ini nuraniku lebih memilih untuk menolaknya  Hanya saja rasa keingintahuanku mendorong untuk menyelidiki sejauh mana omongan Subhan tadi. Malahan aku cenderung menganggap Subhan yang usianya masih cukup muda, sudah terjebak dalam ‘permainan’ mafia makelar tanah yang memang belakangan ini banyak bergentayangan di wilayah kami.

Tak salah dugaanku. Ketika kami menemui temannya Subhan itu, omongannya terkesan sepertinya komisi sebagai makelar pun sudah di depan matanya saja.

“Coba bayangkan, Kang. Per tumbaknya investor itu mau membayar Rp 300 ribu. Sementara kita beli dari pemiliknya  Rp 200 ribu saja. Bukankah harga pasaran tanah perkebunan di sana masih Rp 100 ribuan ?”

Aku manggut-manggut saja mendengarnya sambil sedikit senyum. Kemudian, “Kalau boleh tahu, darimana investornya itu, dan apa nama perusahaannya ?” tanyaku.

“Investornya menurut utusannya yang menghubungi saya adalah orang Malaysia. Tapi saya dengan utusannya itu sudah dua kali melakukan survey di blok itu, Kang. Utusannya itu bernama Pak Halim. Sebentar saya menyimpan kartu namanya, ” sahutnya sambil beranjak dari duduknya.

Dia mengambil sebuah kartu nama dari atas meja tulis yang tak jauh dari tempat duduk kami bertiga. Lalu kartu nama itu diserahkannya kepadaku. Sesaat kuperhatikan kartu nama di tanganku. Aku mencoba menahan tawa setelah melihat kartu nama itu.

“orang yang namanya tertera di kartu nama ini, apakah rambutnya gondrong, jangkung, tegap, dan gaya bicaranya meledak-ledak ?” tanyaku kemudian.

“Koq Akang tahu ? Memang benar begitu, Kang, “ sahutnya keheranan. Ahirnya tawa saya meledak.

“Kalau anda percaya,” kataku sambil menatap Subhan dan temannya,”Orang yang bernama Hamzah ini sudah beberapa kali bertemu denganku. Untuk urusan semacam ini. Tanah. Bukan hanya kebun di blok Pasir Kayumanis saja yang diincarnya, tapi di blok Cilangkap, blok Gegerbeas, dan Blok Pasirbuleud pun pernah dincarnya juga. Katanya untuk peternakan sapi, kalau tidak untuk pabrik pakan ternak.

Begitu. Semula aku percaya. Karena penampilan dan gaya bicaranya lumayan meyakinkan. Tapi aku pun ingin tahu lebih dalam lagi. Kukatakan padanya masalah pembebasan tanah, itu soal gampang. Apalagi dengan menjatuhkan harga yang lebih tinggi dari harga nilai jual objek pajak, dan harga pasaran yang sudah berlaku saat ini. Cuma aku menuntut kepadanya untuk dipertemukan dengan investornya. Bukan maksudku untuk melangkahinya, melainkan supaya mendapat kejelasan lagi. Bagaimanapun ke depannya aku memikirkan nasib warga kampungku juga. Kalau tidak ada perjanjian dari awal, aku khawatir bakal muncul masalah yang tak diharapkan.

Akan tetapi Hamzah memberi jawaban tidak jelas. Malahan ketika aku mendesaknya, dia malahan pamit minta diri. Dan sampai sekarang tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya pun sama sekali.”

Memang sejak tersiar kabar bakal ada pembangunan jalan tol dari Cileunyi, Bandung ke  arah Cilacap, Jawa Tengah, banyak para spekulan (makelar!) tanah yang bergentayangan di wilayah kami. Satu di antaranya yang pernah bertemu dengan kami.

Lalu kepada Subhan dan temannya yang usianya jauh di bawahku, kuminta untuk tidak gampang percaya terhadap orang semacam itu. “Bahkan sebagai generasi muda, jangan mudah tergiur dengan keuntungan yang lumayan besar, dengan usaha yang tanpa modal. Sebagai bagian dari kehidupan warga di wilayah kita, kalian harus melihat dampak yang akan terjadi kalau tanah di wilayah itu jadi dijual. Lalu dibangun pabrik dan semacamnya. Salah satu kerugian bagi warga adalah bakal hilangnya mata air tempat menggantungkan kebutuhan warga di sekitar . Baik untuk sarana air bersih sehari-hari, maupun untuk mengairi areal persawahan. Belum lagi akibat dari polusi udara, apabila lokasi itu dijadikan penetasan ayam. Telur yang tidak menetas sudah pasti akan membusuk. Dan baunya dari ribuan telur akan menyebar kemana-mana. Cobalah bayangkan oleh kalian...” ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun