DENGAN suara tersendat, Ros, panggilan gadis itu, menjelaskan latar belakang sulitnya memaafkan dosa ayahnya. Setiap kali mendengar orang menyebut ayah, yang terbayang di benaknya adalah sosok makhluk yang begitu kejam. Acapkali menyiksa dan berkata kasar kepada ibunya tanpa sedikitpun rasa belas kasihan. Â Hingga saat ini di dalam hatinya masih menggumpal rasa benci dan dendam yang tak terperikan.
Padahal saat ini Ros tahu, orang yang disebut ayahnya itu, dan yang menjadi sebab-musabab dirinya bisa menghirup udara di dunia ini sedang tergolek lemah tanpa daya. Ayahnya itu telah lama terkena penyakit yang disebut dokter sebagai penyakit parkinson, ditambah dengan tekanah darah tinggi yang tak terkontrol.
Gadis yang sebentar lagi akan menginjak usia 40 ini mengaku mengalami kejadian yang tetap membekas ketika masih bocah. Di usia 10 tahun dirinya seringkali menyaksikan ibunya disiksa oleh ayahnya sendiri. Setiap kesalahan sekecil apapun yang dilakukan ibunya, bisa jadi di mata ayahnya merupakan dosa besar yang pantas mendapat ganjaran yang berlebihan. Dan bagi Ros kecil setiap tamparan tangan ayahnya yang mendarat di tubuh ibunya, adalah letupan api yang kian lama membakar rasa yang sulit dipadamkansampai sekarang. Disebutnya sebagai api neraka jahanam, sebagaimana didengarnya dari guru ngajinya.
Setelah hampir saban hari menyaksikan neraka di rumahnya, ada sedikit kelegaan saat suatu hari  ibunya membawa Ros kecil pindah ke tempat saudaranya. Tapi di rumah tantenya itu Ros menyaksikan pemandangan yang selama ini belum pernah dilihatnya. Suami tantenya, ayah dari saudara sepupunya, lain sekali perlakuannya kepada tante dan anak-anaknya. Juga kepada Ros sendiri.
Paman Ros begitu lembut, penuh perhatian. Lain dengan ayahnya sendiri yang kasar, dan sama sekali tidak pernah berkasih-sayang. Gumpalan dendam pun kian menebal. Mengapa ayah lain dengan paman, atau ayahnya teman-teman?
Pertanyaan itu mulai mendapat jawabnya saat Ros menginjak remaja. Ibunya yang seorang guru SD, oleh orang tuanya dijodohkan dengan ayahnya yang masih ada pertalian keluarga. Padahal ketika itu ibu Ros konon telah menjalin hubungan dengan teman sejawatnya. Sehingga perjodohan itu bisa jadi tanpa latar belakang rasa cinta. Ibu Ros kemungkinan besar mau dijodohkan hanya demi hormat kepada orang tua semata.
Seringkali sepulang dari kerja, ayah Ros mendapati ibunya tidak ada di rumah. Meskipun telah dijelaskan oleh ibunya bahwa pekerjaan guru menuntut perhatian penuh, tapi ayahnya tak mau mengerti sedikitpun. Padahal ketika itu ibu Ros sudah mulai belajar untuk mencintai suami. Dan salah satu buktinya dengan melahirkan seorang bayi. Ros sendiri.
Setelah perceraian terjadi, ibunya tidak pernah menikah lagi. Berdua dengan Ros sampai kini. Sementara ayahnya sebelum berpisah dengan ibunya, ternyata sudah menikah lagi. Bahkan sudah memiliki anak lagi. Sehingga impian Ros untuk sekali saja mendapat kasih sayang seorang ayah semakin menghilang.
Padahal dari lubuk hatinya yang paling dalam, aku Ros, dirinya pun ingin seperti teman-temannya. Memiliki keluarga yang utuh dan lengkap. Ada sosok ayah dan ibu yang selalu tanggap. Karena dirinya pun sudah merindukan untuk menggendong bayi, dan di sampingnya ada seorang suami. Tapi bayangan tangan ayahnya sendiri yang melayang, dan mendarat di tubuh ibunya seakan tak mau pergi sampai detik ini. ***
Gegerbeas, 20/12/2012