Apabila berkunjung ke suatu daerah, biasanya kita akan menemukan sesuatu, baik itu makanan, hasil kerajinan tangan, maupun keajaiban alam yang tidak ditemukan di daerah lainnya.
Bahkan hal itu seringkali dianggap sebagai ikon yang menjadi ciri khas dari daerah itu sendiri.
Misalnya saja di daerah Jawa barat, apabila berkunjung ke Kabupaten Garut, maka yang akan diingat adalah dodol-nya.Â
Sedangkan kalau bertandang ke Kabupaten Sumedang, sudah pasti akan teringat dengan tahu-nya.
Demikian juga kalau kebetulan jalan-jalan ke Cianjur, yang pertama kali diingatnya adalah tauco-nya.
Sementara itu, apabila kebetulan para pembaca dari arah Jakarta dan Bandung ada yang hendak melakukan wisata religi ke Panjalu, Kabupaten Ciamis, maupun berkunjung ke pondok pesantren Suryalaya, yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya bagian utara, jangan sampai lupa berhenti sejenak di desa Pagerageung.
Selain untuk melepaskan lelah setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, kita pun akan menemukan suatu penganan yang mungkin saja tidak akan ditemui di daerah lain.
Bisa jadi nama penganan tersebut hampir sama dengan dodol Garut. Akan tetapi walaupun demikian, kita akan menemukan banyak perbedaan di antara keduanya.
Adapun penganan tersebut biasa disebut "Dodol Niknok".
Lha, apa pula arti dari "Niknok" itu? Jangankan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), di dalam kamus Basa Sunda, maupun kosakata yang biasa digunakan sehari-hari pun sama sekali tidak ditemukan.
Untuk mencari jawabannya, penulis menelusuri langsung kepada pihak yang memiliki hak paten dari nama "Niknok" yang tertera di belakang kata dodol itu.