Mengikuti perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, sepertinya ibarat sedang membaca sebuah novel yang tebalnya ribuan lembar halamannya.
Selain itu dalam kisahnya pun penuh dengan drama, baik yang bersifat tragedi, horor, komedi, maupun intrik yang dikaitkan dengan politik, yang sungguh sayang bila dilewatkan begitu saja.
Betapa tidak, dari mulai terjadi "penganiayaan" yang terjadi seusai shalat Subuh, disambung dengan pencarian pelaku yang memakan waktu yang cukup lama, serta dianggap suatu misteri yang banyak menimbulkan berjuta asumsi dari berbagai persepsi, hingga menyodorkan yang disebut teori konspirasi; kemudian ketika pihak kepolisian merilis sudah ditangkapnya pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK itupun masih juga penuh dengan 'kejutan' yang juga dibumbui hiruk-pikuk beragam komentar, baik dari orang yang ditasbihkan, atau juga yang mendaku sendiri sebagai pakar, termasuk juga kaum awam yang dipublikasikan di media arusutama dan media sosial, semakin seru dan ramai saja rasanya novel, eh kasus yang menimpa Novel Baswedan tersebut.
Klimaks kedua yang juga cukup menggegerkan, hingga menjadi perhatian media internasional, adalah di saat memasuki persidangan. Manakala jaksa penuntut umum (JPU), menuntut kedua terdakwa agar dijatuhi vonis satu tahun kurungan penjara.
Sampai-sampai 'korban" sendiri, yakni penyidik senior KPK Novel Baswedan, selain meragukan keterlibatan kedua terdakwa, juga yang bersangkutan dengan geram mengungkapkan agar kedua orang itu dibebaskan saja dari dakwaannya.Â
Bahkan yang lebih menarik lagi, dalam sebuah cuitan di Twitter, sebuah akun yang bernama Novel Baswedan (@nazaqistsha) yang berbunyi sebagai berikut:
 "Pak Presiden @jokowi, proses penegakan hukum  hingga tuntutan hukum 1 tahun  thd penyerang saya, apakah seperti itu penegakan hukum yang bapak bangun atau ini ada rekayasa/masalah dibalik  proses itu? Sebaiknya bapak merespon agar ini jelas..."
Demikian juga dengan yang diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) kasus tersebut, dalam suatu wawancara dengan sebuah media online, mengakui bahwa dirinya memang mendapat tekanan. Kalau digambarkan, tekanan itu seperti tekanan yang dihadapi sebuah gelas saat ada buldozer mau melintas, dan ia pasti terinjak.
Adapun yang dimaksud tekanan oleh Ahmad Fatoni, adalah tekanan dari nuraninya sendiri, sebagai seorang penegak hukum - tentu saja.
"Ya dari kami sendiri. Apalagi kasus mas Novel ini, kan, mendapat perhatian publik internasional. Bayangkan, seorang pejuang antikorupsi tiba-tiba dianiaya. Sorotan publik ini sangat menekan kami," akunya.