Mohon tunggu...
Arry Azhar
Arry Azhar Mohon Tunggu... Pembelajar

Arry Azhar merupakan seorang yang hobi belajar. Baginya belajar adalah sesuatu yang mengasyikkan penuh dengan pengalaman serta nilai nilai kehidupan yang didapatkan. Melalui kompasiana, ia mencoba belajar menjadi penulis. Arry Azhar memiliki hoby membaca, mendengarkan musik, menulis, menonton film dan Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Soal Zonasi, Tapi Hati yang Mati

12 Juni 2025   12:33 Diperbarui: 12 Juni 2025   12:33 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Zonasi (Sumber: priadi)

Bangil, Pasuruan .Pernahkah kita bertanya dengan sungguh-sungguh: Benarkah Dinas Pendidikan memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan bahwa penerimaan siswa baru berlangsung secara adil, transparan, dan merata? Dan jika benar, mengapa masih saja ada anak-anak yang ditolak masuk sekolah tanpa alasan yang masuk akal?

Kabar menyedihkan itu datang lagi. Seorang anak ditolak masuk Sekolah Dasar. Di negeri yang sedang membanggakan diri dengan program pemberantasan buta huruf, ternyata masih ada anak-anak kecil yang harus menangis karena tidak bisa sekolah. Ironis. Tragis. Di tengah gegap gempita kampanye keaksaraan dan literasi, ternyata pintu gerbang pendidikan masih bisa tertutup bukan karena tidak mampu, tapi karena tak dianggap layak oleh sistem yang katanya sudah diperbaiki.

Rasanya sulit dipercaya, tapi ini nyata. Penolakan itu terjadi, bahkan kepada anak-anak yang seharusnya menjadi prioritas dalam sistem pendidikan kita. Lebih menyakitkan lagi, alasan yang diberikan oleh pihak sekolah terdengar mengada-ada, tidak logis, dan tidak berdasar. Orang tua mereka datang membawa data, harapan, dan bukti. Tapi semua itu seolah tidak berarti apa-apa. Hati siapa yang tidak perih melihat anak yang begitu antusias masuk sekolah, justru ditolak tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat?

Masyarakat hari ini sudah paham betul soal zonasi. Tapi anehnya, zonasi justru tidak berlaku bagi mereka yang punya kuasa, jabatan, atau uang. Aturan seketat apapun bisa ditembus oleh mereka yang punya akses. Kita semua tahu itu. Ada jalur-jalur tak kasat mata yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang  berani membayar atau punya backing kuat.  Keadilan seolah menjadi barang mewah di negeri yang kaya akan janji dan slogan.

Sedih? Tentu saja. Tapi juga marah. Karena pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan alat pemisah. Sistem zonasi yang awalnya digagas untuk pemerataan, kini berubah menjadi momok. Sekolah-sekolah negeri yang dulunya penuh prestasi kini terpaksa menerima siswa tanpa pertimbangan kualitas, hanya karena aturan radius. Dan sekolah favorit pun mengeluh karena tidak bisa memilih calon peserta didik sesuai standar yang mereka bangun selama bertahun-tahun.

Pemerintah memang telah mengubah sistem itu. Mulai tahun 2025, PPDB tak lagi menggunakan jalur zonasi, tapi beralih ke jalur domisili dalam skema baru bernama Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Katanya, sistem ini akan lebih adil, mempertimbangkan jarak dan wilayah administratif. Tapi, benarkah keadilan itu akan hadir hanya dengan mengganti nama dan skema?

Tidak akan ada perubahan nyata jika para pendidik dan pengelola pendidikan tidak mengubah hati mereka. Selama masih ada mentalitas pilih-pilih murid, selama masih ada guru yang memandang anak berdasarkan status sosial orang tuanya, selama masih ada kepala sekolah yang tunduk pada titipan kekuasaan---maka sistem apa pun tak akan menyelamatkan dunia pendidikan kita.

Lalu, haruskah kita menyerah? Tidak. Kita tidak boleh menyerah. Karena di antara semua luka dan kecewa, masih ada harapan. Harapan itu hidup dalam diri para orang tua yang tetap berjuang meski ditolak. Harapan itu tumbuh dalam mata anak-anak yang tak henti bermimpi, meski pintu sekolah tertutup. Dan harapan itu ada dalam hati setiap guru sejati yang mengajar bukan karena uang, tapi karena cinta pada masa depan bangsa.

Mari kita jaga harapan itu. Mari kita perjuangkan agar dunia pendidikan benar-benar menjadi rumah bagi semua anak, bukan hanya bagi mereka yang beruntung.  Karena masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh gedung megah atau sistem canggih, tapi oleh satu hal yang sederhana: keadilan untuk setiap anak yang ingin belajar.

rudiEdogawa
Penggiat Literasi dan Owner Es Doger Raya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun