Mbah Wiro tersenyum dan segera beranjak ke lemari jati kuno yang bersanding dengan televisi tabung di ruang tamu.
"Inikah sarung pemberianmu?"
Mata Arfha melotot. Dua sarung yang pernah diberikannya pada Mbah Suro tampak masih baru. Sepertinya belum pernah satu kalipun terpakai.
"Jangan heran. Ada fakta tersembunyi tentang sarung kumal Mbah Suro. Juga terkait dengan sarung pemberianmu di lemari pakaianku."
Mbah Wiro segera duduk kembali di lincak. Dua sarung pemberian Arfha ditaruhnya di tengah lincak.
"Sarung yang kau berikan ke Mbah Suro disuruh pakai ke aku. Tetapi, selama Mbah Suro masih hidup, aku juga tidak akan memakainya."
"Aneh?"
"Nggak juga."
"Kok bisa, Pakde?"
***
Mbah Wiro menatap sisa senja yang mulai redup tersapu warna hitam pekat nun jauh di arah Barat.
"Mbah Suro itu pimpinanku. Tiga sekawan begal yang ditakuti di desa ini dan desa sekitarnya. Dua puluh tahun lalu kami terbiasa merampas motor yang lewat di tempat sepi. Bahkan tak segan membunuh pemiliknya yang berusaha melawan. Mbah Suro eksekutornya. Makanya dinamai Mbah Suro Ugal!"
Suasana tiba-tiba hening. Angin sepoi-sepoi nan usilpun meringkuk di balik dedaunan dan pepohonan yang mulai kedinginan.