Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Titip Fekunditas kepada Siswa

8 Maret 2019   08:31 Diperbarui: 15 Maret 2019   09:02 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika pendidikan mengembangkan pengetahuan kemampuan berpikir seseorang (Sumber: mutlulugunresmi.com)

"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world" (Nelson Mandela)

Namanya Slamet. Usianya masih 34 tahun. Di usia masih cukup belia sudah mempunyai tanggung jawab besar. Tanggung jawab yang tidak ringan. Bahkan sangat berat. Harus menghidupi 7 (tujuh) orang anak yang masih kecil-kecil.

Istri dari Pak Slamet juga masih belia. Hanya selisih satu tahun. Tepatnya berumur 33 tahun. Istri satu-satunya. Ibu dari anak-anak yang dilahirkan. Ibu muda yang harus tabah dalam segala keterbatasan. Lebih menjurus kekurangan.

Sepintas tidak ada yang salah. Slamet dan istrinya menikah secara sah. Anak-anak yang mereka lahirkan pun sah. Tidak ada masalah. Semua berjalan sesuai kehendak. Merajut rumah tangga menjalankan fungsi reproduksi. Juga fungsi lainnya.

Masalah dan tanggung jawab besar mulai muncul. Seiring usia anak-anak mereka memasuki usia sekolah. Tidak tanggung-tanggung. Lima anak harus mereka pikirkan biaya pendidikannya. Satu baru duduk di bangku SMA. Satu di bangku SMP. Dua di SD. Satu lagi di TK. Sedang yang dua masih Balita. Ah..., hirup napas dulu dalam-dalam. 

Slamet, sosok lelaki sehat dan kekar. Istrinya pun demikian meskipun tidak kekar. Mereka menikah di usia muda. Bahkan sangat muda. Sangat di luar dugaan. Mengapa? Sebab Slamet harus menikah saat mantan pacarnya (istrinya) hamil masih kelas akhir di bangku SMP. Ah..., hirup napas lagi.

Pagi ini, lelaki sehat dan kekar ini tak mampu lagi membendung beban yang dipanggulnya. Tubuhnya yang kekar berguncang. Butir-butir air mata menjelma mata air. Mengalir cukup deras. Membuatku terdiam. Mematung. Sesaat.

Pak Slamet begitu aku memanggilnya. Usianya terpaut 12 tahun. Lebih muda dariku. Di usia yang cukup muda kenyang banting tulang.

Demi menghidupi keluarga besarnya, pekerjaan buruh bangunan dilakukannya. Hanya pekerjaan ini yang mampu ia lakukan, mengingat ijazahnya hanya tamatan SMP.

Di depanku Pak Slamet berkisah. Kisah tentang bagaimana susahnya menghidupi keluarga. 

Secara akal, susah baginya hidup layak mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun pernah mendapat BLT dan beasiswa pendidikan anak-anaknya. Masih sangat kurang dari kata "cukup". Alhasil, gali lubang tutup lubang sering ia lakukan.

Sekali lagi, pagi ini Pak Slamet memohon diberi kelonggaran tempo. Melunasi pembelian seragam olahraga bagi anaknya yang duduk di bangku SMP. Aku hanya mampu mengangguk pelan. Pikiranku berputar cepat. Seperti mesin, berusaha mencari cara. Bagaimana cara dapat meringankan beban keluarga muda ini. 

Banyak Anak Banyak Rejeki?

Kisah Pak Slamet di atas hanyalah sepenggal dari sekian kisah nikah usia muda. Kisah nan melankolis. Di balik kesenangan sesaat. Kisah yang terus berkelindan.

Benarkah nikah usia dini adalah kisah berkelindan? Ada banyak jawabannya. Namun yang pasti, terus menghias media pemberitaan. Bahkan cenderung viral. Mengguncang dunia nyata. Menggoyang dunia maya.

Sebut saja di tahun 2016, dua siswa SMP di Gantarang, Sulsel. Tahun 2017, pasangan ABG di Baturaja, Sumsel. Demikian juga di tahun 2018, dua siswa SMP di Bantaeng, Sulsel. Menghias berbagai lini media. Wujud nyata betapa nikah usia muda marak di negeri kaya segala. Kaya berita. Pingin bukti lagi? Gugling saja. Pasti dijawab oleh sang pakar berita. 

Nikah usia dini, rentan memperbanyak jumlah penduduk. Rentan memperbanyak jumlah anak. Mengapa? Karena sangat terkait dengan fekunditas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fekunditas diartikan kemampuan potensial seorang wanita untuk melahirkan anak. Sangat terkait dengan masa subur. Masa yang besar kemungkinannya bagi seorang wanita untuk hamil. Masa yang besar kemungkinannya untuk terjadinya pembuahan.

Banyak anak banyak rejeki. Ah..., yang benar saja. Coba simak kisah nyata di Youtube. Ketik di auto search, Kamu Ingin Punya Banyak Anak? Pikirkan Secara Matang. Bisa juga judul ini, Kisah Perempuan dengan 25 Anak. Yang lebih miris ada juga, Akibat Kemiskinan, Keluarga 12 Jiwa Ini Terpaksa Makan Kulit Singkong.

Peran Dunia Pendidikan 

Kemajuan teknologi hendaknya digunakan untuk hal positif. Manfaatkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan. Demikian juga di dunia pendidikan, fenomena nikah usia dini hendaknya selalu diselipkan. Selalu disampaikan kepada siswa untuk "diluruskan". Selurus-lurusnya.

Titipkan kata kunci fekunditas kepada siswa. Agar mereka punya pemahaman mendalam. Bahwa nikah usia dini membuka luasnya pintu memperbanyak anak. Membuka pintu susahnya menjalani hidup. Mempersempit kemakmuran. Memperluas kemiskinan.

Sampaikan secara gamblang data kuantitas seandainya mereka menikah di usia dini. Berapa banyak peluang anak-anak yang akan lahir. Berapa banyak "produk" yang mampu mereka hasilkan di usia subur.

Berkaitan dengan usia subur, ajak anak-anak menghitung kemampuan seorang wanita berproduksi di masa fekunditas. Seandainya secara umum fekunditas berlangsung selama usia 15-45 tahun, ada waktu 30 tahun kemampuan potensial seorang wanita untuk melahirkan anak.

Jika saja tiap 5 tahun menghasilkan "produk", akan lahir 6 anak. Jika tiap 4 tahun? 3 tahun? Atau bahkan 2 tahun? Ajak mereka menghitung bersama. Berapa produk yang dilahirkan. Sungguh mencengangkan. Bisa jadi mendebarkan.

Setelah memahami hitungan fekunditas, ajak mereka menonton kisah haru biru keluarga dengan banyak anak. Keluarga yang terbiasa dengan keterbatasan. Keluarga dengan segala ketidakcukupan. Dan inilah kondisi nyata bangsa Indonesia. Bangsa yang besar. Juga besar jumlah penduduknya.

Jangan lupa ajak mereka diskusi multi arah. Menghidupkan pikiran-pikiran yang masih mengendap. Pikiran tertidur. 

Pikiran yang kadang masih terjebak, banyak anak banyak rejeki. Nikah muda banyak nikmatnya. Tanpa tahu akibat simultan yang harus mereka hadapi kelak. Banyak anak banyak susahnya. Banyak anak banyak biayanya.

Pendidikan dapat mengembangkan pengetahuan. Fekunditas dapat dititipkan. Merubah cara pandang negatif menjadi positif. Bahkan mengubah sempitnya dunia pemikiran. 

Diskusi multi arah dapat membongkar kotak pandora. Ada kalanya mereka membandingkan keadaan. Ada keluarga banyak anak yang kaya raya di lingkungan mereka. Hidup bahagia.

Gambaran di atas fakta. Tetapi fakta pengecualian. Apa sebab? Keluarga banyak anak yang kaya dan bahagia secara kuantitas sedikit jumlahnya. 

Golongan keluarga ini lebih banyak ada di lingkup keluarga ekonomi menengah ke bawah. Lingkup keluarga yang pada saatnya dapat hidup "terengah-engah". Akan menambah jumlah keluarga prasejahtera. Menambah pula beban negara. 

Inilah tugas dunia pendidikan. Tugas para guru. Untuk tidak selalu bosan mengingatkan. Memahamkan. Membimbing anak-anak ke arah pemikiran lurus makna dan akibat nikah muda kaitannya dengan kata kunci " fekunditas".

Penulis :

ARIF ROHMAN SALEH, S. Pd

- Guru SMPN 1 Wonomerto, Kabupaten Probolinggo

- Ketua MGMP IPS SMP Provinsi Jawa Timur Periode 2016/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun