Kau tembak cicak. Untuk sekian kali. Di musim panen. Musim panen bagi yang berdasi.Â
Di kandang burung hantu. Kau kurung cicak. Cicak kau remah hingga lemas. Lalu, kau ludahi.
Diantara sekian juta mata dan telinga. Corong kau genggam erat. Genggaman tangan kiri. Tak henti menghujat dan memaki. Hilang naluri. Ah.... muak dan mau muntah.
Di saat corong pindah tangan. Cicak dimandikan dengan sabun wangi. Handuk warna merah dan putih, masih setia membersihkan. Dari ludah yang tak pernah berhenti dilempar olehmu.
Kulihat dirimu. Tanpa corong. Menutup telinga. Mata kau ajak merayapi dinding. Sebisa mungkin sembunyikan sudut-sudut sempit ambisimu. Yang kau pintal demi kursi. Yang mulai goyang. Dan sesungguhnya sudah lama goyah. Ah.... muntah sudah.
ariefrsaleh
NKRI, 15102017