Mohon tunggu...
ari rizal
ari rizal Mohon Tunggu... -

Saya seorang wartawan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia Kelas Internasional

26 September 2011   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:37 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

SEBUAH topik dalam Kompas Forum membahasa tentang menjadikan bahasa Indoensia sebagai bahasa internasional. Topik ini sangat menarik, karena terbukti banyak yang mengomentarinya. Komentar yang cukup kritis menurut saya tentang penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan. Saya pun teringat dengan kelas berlabel internasional yang kini hangat-hangatnya dilaksanakan Kementrian Pendidikan Nasional.

Kenapa kelas internasional menajdi hangat? Itu tak terlepas dari adanya diskriminasi. Siswa yang belajar di kelas internasional mendapatkan fasilitas lebih dari kawan-kawannya, padahal mereka sekolah di sekolah negeri yang sama. Anggaran untuk kelas itu pun berlebih, bahkan berkali lipat jumlahnya dibandingkan kelas-kelas biasa. Namun, saya tak ingin mengomentari diskriminasi ini. Saya justru melihat persoalan penggunaan bahasa pengatar dalam pembelajarannya, yaitu penggunaan bahasa Inggris.

Kenapa disebut kelas internasional, salah satunya karena memakai bahasa Inggris. Bahasa Inggris memang bahasa internasional karena penuturnya merata di seluruh dunia. Kalau ingin menjadi penutur bahasa yang baik, seseorang memang harus menguasai banyak bahasa. Tidak hanya bahasa ibunya, bahasa nasionalnya, namun juga bahasa asing. Tak hanya bahasa Inggris, kalau memang memiliki kemampuan penguasaan bahasa yang baik, tak salah menguasai bahasa asing lainnya, Arab, Francis, Jerman, China, Rusia, hingga bahasa Tagalog sekali pun. Sebagai keterampilan berbahasa, sangat baik kalau bisa menguasai bahasa Inggris. Namun, sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, apalagi pendidikan itu dilaksanakan di tanah air, tentu harus dipertanyakan urgensinya. Logikanya begini, bagaimana kita berada di rumah sendiri, di negara sendiri, tapi malah berbahasa asing. Apa gunanya kita punya bahasa nasional sendiri. Durhaka kepada pahlawan yang telah berjuang untuk bahasa nasionalnya, kalau kita malah bangga dengan bahasa asing. Kalau malu berbahasa negeri sendiri, tinggal saja di negeri orang!

Kembali saya ulangi pertanyaannya, apa urgensi bahasa Inggris di kelas internasional itu? Apakah bahasa Indonesia tidak bisa menjadi bahasa pengantar pendidikan. Tentu salah! Karena bahasa Indonesia kini sudah menjadi bahasa pengantar pendidikan, baik di tingkat dasar bahkan perguruan tinggi. Kalau penggunaan bahasa Inggris di kelas internasional untuk bisa memfasihkan anak didik berketerampilan berbahasa Inggris, alasan ini juga tidak tepat. Kalau mereka dipersiapkan untuk bisa berkiprah di dunia internasional, itu juga kurang tepat. Lihat saja China, mereka saat ini menguasai dunia. Mereka menanam investasi di seluruh dunia, tapi tetap mereka menggunakan bahasa China dalam berkomunikasi. Warga negara lain pun dipaksa untuk memiliki keterampilan bahasa China. Itu konteks bahasa dalam politik kebudayaan.

Ada konsepsi dalam pembelajaran bahasa, bagaimana menciptakan pembiasaan berbahasa yang sangat menentukan keterampilan berbahasa seseorang. Di Jawa, ada sebuah komunitas, seperti perkampungan kecil yang menjadikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasinya sehari-hari. Konsep pembelajaran seperti itu cukup efektif dalam meningkatkan kecakapan berbahasa Inggris. Konsep ini yang ditransformasi dalam kelas internasional. Kalau niatnya baik seperti ini, seharusnya pembelajaran itu tak hanya dibatasi dalam lingkup kelas khusus. Sebagai keterampilan dasar yang harus dimiliki semua siswa agar semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk go internasional, pembelajaran bahasa Inggris itu harus diberikan merata kepada ke semua siswa. Kalau ada masalah kompetensi dan kecendrungan siswa yang berbeda, itu tak harus dibatasi dengan kelas internasional yang justru menjadi sekat. Anak-anak yang memiliki kompetensi dan kecendrungan akan bisa mengembangkan diri dan mengakomodasi kecendrungannya sendiri. Kalau dalam wilayah yang lebih umum, siswa itu bisa mencari komunitas dan lingkungan berbahasa Inggrisnya sendiri dan ruang itu sebenarnya sangat banyak. Hanya saja, ketika ruang itu sengaja diciptakan dalam lingkup sekolah, apalagi sekolah negeri yang dibiayai oleh seluruh rakyat Indonesia, itu menjadi diskriminatif.

Bahasa itu melekat pada penuturnya. Bahasa itu tidak hanya memiliki medan makna struktural, namun juga gramatikal. Untuk mempelajari bahasa yang baik itu, maka langsung kepada penuturnya. Kalau ingin belajar bahasa Inggris yang baik, maka langsung kepada penutur aslinya, seperti masyarakat Inggris atau negara-negara yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu atau bahasa nasionalnya.


Saya lebih senang menyarankan, kalau sekolah berniat baik untuk memfasilitasi anak didiknya untuk go internasional, sebaiknya anak-anak itu diberi kesempatan langsung berinteraksi dengan penutur bahasa Inggris. Dalam arti kata, ya beri mereka pengalaman sekolah di Inggris. Mereka yang terpilih tentunya mereka yang memiliki kompetensi dan kecendrungan, karena tidak semua anak juga menginginkan hal itu. Ada yang punya kompetensi, tapi tak punya kecendrungan, mereka tak perlu dipaksakan pula. Dengan skema ini, pembelajaran bahasa Inggris itu lebih egaliter, tidak meninggalkan sekat-sekat diskriminatif di sekolah.

Kelas internasional adalah kelas khusus, mereka yang belajar di sana mendapatkan status yang berbeda. Dan di kelas khusus itu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang prestisius. Sungguh malu saya menjadi orang Indonesia, ketika di negara sendiri, di sekolah sendiri, bahasa Inggris dipandang lebih hebat dari bahasa Indonesia. Toh, buat apa dong Soempah Pemoeda? Bukankah seharusnya kita menjadikan bahasa Indonesia bahasa yang prestius, menjadi bahasa internasional. Dan itu dimulai dari kebanggaan kita menggunakan dan mencintai bahasa sendiri, bahasa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun