Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Honor Terkadang Tidak Punya "Harga Diri"

3 Mei 2019   17:05 Diperbarui: 4 Mei 2019   08:51 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru Honor I Gambar : Tribun

"Pedih rasanya melihat nilai uang yang diterima setelah sebulan mengajar, seperti tidak dihargai, namun ketika mengingat anak-anak yang diajar, "harga diri" itu mendadak sirna. Anak-anak itu lebih bernilai"

Sekitar 8 tahun lalu, Saya pernah menjadi guru honor di sebuah sekolah setingkat SMA.  Sekolah ini baru dirintis, letaknya agak jauh dari kota tempat saya tinggal, sekitar 30 km.

Waktu itu, saya belum mempunyai kendaraan sendiri, saya harus menggunakan kendaraan umum ke sekolah itu. Untuk sampai ke sekolah itu, tidaklah sesulit jika mengajar di kampung-kampung yang gurunya harus berjalan kaki dan sebagainya. Sekolah itu letaknya dekat dengan jalanan umum.

Masalahnya cuma satu. Tidak banyak kendaraan umum yang ada di jalur jalan ke sekolah tersebut. Akibatnya, kendaraan tersebut harus mangkal cukup lama di salah satu terminal antara tempat saya tinggal dengan sekolah, biasanya bisa mencapai satu jam, menunggu penumpang penuh. Saya sering ketiduran di terminal itu.

Oh, iya, sekolah saya dimulai siang. Jam 1 siang, menunggu hingga siswa SD keluar. Sekolah itu memang masih menumpang di SD itu, syukur sekarang kabarnya sudah punya gedung sendiri.

Saya selalu bersemangat ke sekolah, meskipun perjalanan cukup jauh dan lama. Ada sesuatu yang menggembirakan ketika mau mengajar.

Kadang-kadang jika saya telat, anak-anak sudah menunggu di jembatan kecil, berada tak jauh dari sekolah. "Pak sudah datang" begitu teriak mereka setiap saya turun dari Angkot. Saya tersenyum melihat tingkah mereka. Mereka berlarian masuk ke kelas, dan saya mulai mempercepat langkah saya.

Saya mengajar matematika di kelas 1. Anak-anak yang saya ajar kebanyakan berasal dari keluarga pengungsi Timor-Timur. Mereka disebut sulit diatur pada jaman itu, mungkin juga sekarang. Tapi bagi saya, hanyalah kenakalan biasa anak remaja.

Saya berusaha membuat matematika menyenangkan. Kadang-kadang siswa yang bisa menyelesaikan soal yang saya berikan akan saya berikan hadiah, permen atau coklat atau makanan kecil. Mereka bersemangat. Saya senang melihat ketika mereka bersemangat.

Saya menjadi menyadari, guru itu kebahagiaannya ya itu, melihat anak-anak yang dia bimbing dapat beranjak dari tidak tahu menjadi tahu. Makanya banyak guru yang awet muda, guru SMP saya saja sampai sekarang masih mengajar dan terlihat muda terus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun