Mohon tunggu...
Arni Datu Paillin
Arni Datu Paillin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kesesatan Berpikir dalam Kehidupan Sehari-hari: Mengungkap Argumen Palsu yang Dianggap Benar Di Tengah Masyarakat

14 Mei 2025   20:39 Diperbarui: 14 Mei 2025   21:16 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Logika (Sumber: Pict by canva.com )

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering dihadapkan pada berbagai cara berpikir untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Namun, tidak semua cara berpikir itu itu dapat dibenarkan secara logis. Banyak orang yang tanpa sadar, menggunakan pola pikir yang salah meskipun terlihat masuk akal secara sepintas. Kesalahan berpikir seperti ini tidak hanya muncul dalam perdebatan atau diskusi akademik, melainkan juga melekat dalam tradisi, adat, dan kebiasaan masyarakat, termasuk yang terdapat dalam budaya lokal seperti di sulawesi.

Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang mulai mengabaikan pentingnya logika saat berpikir dan membuat aturan. Sebagian besar dari mereka meremehkan peran logika dan cenderung berpikir seenaknya. Mereka lebih memilih hal-hal yang cepat dan praktis tanpa memikirkan apakah cara berpikir mereka masuk akal atau tidak. Akibatnya, berbagai penyimpangan mulai muncul dalam kehidupan sosial masyarakat. Padahal, hal-hal yang logis biasanya mudah dipahami oleh akal sehat, sedangkan yang tidak logis sering bertentangan dengan pikiran dan hati nurani. Maran dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Logika" berpendapat bahwa logika harus dijadikan sebagai alat untuk berfikir lurus dan teratur, sehingga dapat membantu seseorang membedakan antara argumen yang benar dengan menyesatkan.

Salah satu penyebab utama kesalahan berpikir adalah kurangnya pemahaman terhadap hubungan sebab-akibat yang sebenarnya. Dalam beberapa kasus, kesalahan ini sengaja diajarkan dari generasi ke generasi untuk mengontrol tingkah laku anak-anak atau menjaga aturan sosial. Contohnya, di kalangan masyarakat, "Anak-anak sering dilarang mandi malam karena dianggap bisa menyebabkan rematik". Padahal, dari sisi medis, rematik lebih banyak disebabkan oleh faktor keturunan dan kondisi kesehatan, bukan waktu mandi. Meskipun tujuan larangannya baik, yaitu untuk menghindari udara dingin malam hari, namun cara penyampaiannya bisa menyesatkan.

Contoh lain adalah "Larangan makan sambil berdiri dengan alasan dapat menghambat rezeki". Pesan moral yang hendak disampaikan sebenarnya adalah pentingnya sopan santun ketika makan. Namun, penyampaian larangan tersebut menggunakan alasan yang tidak logis, sehingga dapat menimbulkan pemahaman yang keliru sejak dini.

Dalam banyak hal, masyarakat sering mengalami kejadian-kejadian yang tidak masuk akal. Misalnya, ada orang yang terbukti melakukan korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah, tetapi di mata hukum diperlakukan sama seperti pencuri seekor ayam. Atau ada pula yang jelas-jelas bersalah tetapi tidak tersentuh oleh hukum sama sekali. Keadaan semacam ini menunjukkan betapa pentingnya logika dalam kehidupan manusia. Setiap orang perlu memahami kapan harus berpikir secara logis dan kapan tidak, karena setiap tempat dan waktu memiliki logikanya masing-masing, dan setiap logika juga memiliki tempat dan waktu yang tepat untuk diterapkan. Sebagaimana ditegaskan oleh Krinus Kum, bahwa logika bukan hanya sekadar alat berpikir, tetapi juga merupakan fondasi untuk membentuk keadilan dan pikiran yang jernih dalam kehidupan sosial.

Di beberapa daerah, "Anak-anak sering dilarang memotong kuku pada malam hari karena diyakini bisa mengundang makhluk halus". Padahal, alasan sebenarnya berkaitan dengan keselamatan akibat minimnya penerangan. Namun, cara penyampaiannya yang menakutkan membuat masyarakat percaya tanpa memahami makna rasional di baliknya. Begitu pula dengan kepercayaan bahwa "Menangis saat memasak akan membuat masakan menjadi asin". Secara logis, air mata dalam jumlah kecil tidak akan mengubah rasa masakan. Kepercayaan seperti ini membuat batas antara simbol dan kenyataan menjadi sulit dibedakan.

Dalam hal ini, penggunaan logika memang sangat dibutuhkan. Hal tersebut menunjukkan sejauh mana kemampuan seseorang dalam memanfaatkan dan memaksimalkan potensinya untuk berpikir jernih dan rasional. Hakikat logika menurut K. Prent C.M.T. Adisubrata dalam Mundiri menyatakan bahwa logika berasal dari bahasa Latin logos, yang berarti "perkataan" atau "sabda". Poespoprodjo (1999:13) menjelaskan bahwa logika adalah ilmu dan keterampilan untuk berpikir dengan tepat. Sementara itu, Rapar (1995:9) menyebutkan bahwa logika adalah cara berpikir yang dijelaskan lewat kata-kata dan diungkapkan melalui bahasa.

Lanur (1983:7), juga mengatakan bahwa logika adalah ilmu yang mengajarkan seseorang untuk berpikir secara lurus atau benar. Berpikir sering dianggap mudah karena telah menjadi kebiasaan sejak kecil. Namun, jika diselidiki lebih jauh, berpikir dengan teliti dan tepat ternyata merupakan kegiatan yang tidak sederhana. Diperlukan kesanggupan untuk mengamati secara seksama, melihat hubungan-hubungan, dan menemukan kesalahan tersembunyi dalam argumen.

Ada pula larangan yang muncul di kalangan masyarakat bahwa "Tidak baik tertawa terlalu banyak di malam hari karena diyakini akan membawa kesedihan keesokan harinya." Kepercayaan ini juga termasuk bentuk berpikir yang keliru. Tidak ada hubungan sebab-akibat yang logis antara tertawa di malam hari dengan peristiwa di hari berikutnya. Kehidupan manusia tidak berjalan sesederhana itu.

Dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat dipengaruhi oleh mitos dan tradisi turun-temurun, kepercayaan seperti ini diterima tanpa dipertanyakan karena sudah menjadi bagian dari budaya dan norma. Banyak pendapat yang sebenarnya belum terbukti, namun tetap dipercaya karena disampaikan dengan alasan yang tampaknya masuk akal. Akibatnya, cara berpikir yang tidak kritis berkembang luas dan sulit untuk dihilangkan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, penalaran berasal dari kata nalar, yang berarti pertimbangan baik-buruk, budi pekerti, dan akal budi. Dengan kemampuan menalar, manusia bisa mengembangkan pengetahuan yang semakin beragam dan mendalam. Namun, sering kali penalaran seseorang dipengaruhi oleh kebiasaan, emosi, dan prasangka. Orang  lebih menganggap benar apa yang mereka sukai dan mengabaikan hal-hal yang tidak disukai. Akibatnya, kesimpulan yang diambil menjadi tidak jelas dan tidak tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun