Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Resah

20 Maret 2019   15:46 Diperbarui: 20 Maret 2019   16:06 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin jalan-jalan hari ini cukup melelahkan. Aku mengajaknya ke taman yang berada di pusat kota. Beberapa hari yang lalu sebelum mengajaknya jal31an-jalan, aku sudah menyuruhnya mengenakan kaus merah muda cerah dipadu celana jins biru dongker ketat. Alhasil dirinya tampil anggun dengan polesan tipis gincu merah pada kedua belah bibir merekahnya. Sepatu kets membungkus kedua kakinya. Aku sempat tak bisa berkata apa-apa ataupun mencari kekurangan penampilannya. Dia cukup sempurna di mataku. Aku menyukainya.

            "Hei Riyan. Kenapa kau menatapku begitu?"

            "Oh e-enggak. Kamu cantik," ungkapku jujur padanya. Dia hanya tersenyum kecil. Kedua pipinya merona. Lagi-lagi aku terpesona. Jantungku sempat-sempatnya berdetak tak karuan. Astaga. Walaupun aku sering disuguhi keindahan wanita di depanku, rasanya tak pernah rasa bosan muncul dalam benak. Sesering mungkin aku akan memuji keindahan dirinya agar aku bisa melihat senyum itu lagi. Senyum itu menyurutkan keresahan yang merebak dalam batin.

            Aku sendiri jarang melihat senyuman seperti itu. Ditempatku bekerja, aku hanya disuguhi tampang-tampang serius dan tegang. Keseharian pekerjaanku aku selalu menyaksikan tampang-tampang serius dan dingin. Adapun senyum itu selalu distel oleh manajerku ketika aku menangani administrasi nasabah. Kebanyakan para nasabah adalah orang awan yang tidak mengerti seluk beluk pinjaman kredit dan bunga. Aku selalu berusaha menahan derasnya arus kekesalan mengamati ketidaktahuan mereka. Kenapa bunganya harus segini? Kenapa cicilan harus sebesar ini tiap bulannya? Bisakah pihak bank menurunkan suku bunga mereka agar pinjaman tidak terlalu menyiksa bagi nasabah awam? 

            Oh aku menahan, sungguh menahan dengan berusaha senyum. Tapi salah seorang nasabah, entah bagaimana, bisa tahu kalau senyum yang kuulas itu senyum palsu. Bahkan mereka pernah bilang, 'senyumnya enggak usah dipaksain, Pak. Lebih baik jujur aja sama diri sendiri." Dan lagi aku tidak bisa marah. Harus sabar. Harus menahan emosi. Aku tetap melayani dia karena kepuasan nasabah adalah nomor satu. Itu selalu ditekankan oleh atasanku.

            Hari ini aku bisa bernapas lega. Sudah sebulan lamanya aku dijejali rutinitas pekerjaan. Pergi pagi, pulang jam empat. Karena kesibukan yang menghimpit, aku bahkan tak sempat mengajaknya jalan. Tanggal merah di kalender kamarku memberikanku secercah harapan untuk lepas sejenak dari jerat rutinas keparat.

            Aku pun sudah tampil tampan di hadapannya. Aku mengenakan kemeja flanel berlengan panjang warna biru muda, celana jins dan sneaker biru tua. Sinar cerah mentari sama cerah dengan suasana jalan-jalan kami. Sepanjang perjalanan aku selalu melemparkan canda yang membuatnya tersenyum. Senyuman yang membuat semua lelah dan penat itu terobati. Terkadang dia mau juga tertawa lepas. Aku juga ikut tertawa. Menyenangkan sekali. Aku merasa satu hari ini takkan cukup untuk bersamanya.

            Dia suka es krim. Aku membelikannya agar jalan-jalan kami tak terasa melelahkan. Aku mengusilinya dengan mendorong dengan sengaja sikut Risa sampai krimnya mengotori hidungnya. Tidak ada rasa marah. Ia malah balik membalas dengan mendorong sikutku hingga pipiku terkena krim cokelat. Pipi maupun daerah sekitar dagu hanya luput sedikit dari kotoran krim cokelat.

            Bosan berjalan-jalan, aku menunjuk salah satu kursi besi yang tersedia di pinggiran kawasan taman. Aku mengajaknya duduk sembari beristirahat. Kami berdua bercerita tentang masa depan. Tentang berapa uang mahar yang akan kuberikan padanya apabila aku akan meminangnya. Tentang di mana kami berdua akan melangsungkan pernikahan dan tentang siapa saja yang akan kami undang. Perbincangan kami begitu serius walau banyak lalu lalang orang-orang. Kumerasa dunia milik kami berdua.

            Aku secara naluriah dan refleks mendekap punggung tangan Risa. Aku mendekapnya lembut dan sesekali mengelusnya. Kulihat sekilas dia tampak tenang. Mungkin dia senang diperlakukan seperti ini. Risa dengan nalurinya sebagai seorang wanita yang butuh perlindungan, menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku turut senang. Aku mengelus lembut rambut hitam yang tergerai lurus dan lembut di telapak tanganku. Aku benar-benar menginginkan momen mesra ini jangan berlalu begitu. Aku juga mendekap bahu Risa yang empuk. Aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku juga meyakini kalau ia tak ingin kehilangan diriku.

            "Riyan..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun