Perbukitan subur Paladan, Mamasa, lahir seorang pejuang yang gigih menentang penjajahan Belanda. Namanya Demmatande, atau Daeng Matande, seorang bangsawan dari keluarga Tana' Bulawan yang dikenal karena perlawanannya yang tak kenal menyerah pada awal abad ke-20. Kisahnya adalah cerminan dari semangat juang rakyat Sulawesi Barat (Sulbar) dalam menghadapi penindasan kolonial.
Awal Mula Perlawanan
Pada tahun 1907, Belanda memulai ekspansi besar-besaran di luar Jawa dan Sumatra untuk mengamankan wilayah kekuasaannya dari ancaman bangsa lain, termasuk Inggris. Penetrasi ini menyebabkan gejolak di kalangan bangsawan lokal, termasuk di Sulawesi Barat, yang merasa terusik oleh kebijakan kolonial yang menindas.
Perlawanan fisik pertama Demmatande dimulai saat ia membantu I Ammana Wewang melawan upaya Belanda untuk mencampuri urusan internal kerajaan-kerajaan di Sulawesi Barat. Dengan solidaritas tinggi antara masyarakat Pitu Babana Binanga (pesisir) dan Pitu Ulunna Salu (pegunungan), Demmatande memimpin 300 pasukannya dari gunung ke pesisir. Tindakan berani ini membuatnya masuk daftar hitam Belanda sebagai "pemberontak."
Dari Kerja Paksa ke Pemberontakan
Belanda terus menekan bangsawan yang menolak bekerja sama, menerapkan kerja paksa (kerja rodi) untuk pembangunan jalan raya dan memungut pajak tinggi. Melihat keluarganya dan masyarakat Pitu Ulunna Salu (PUS) dipaksa bekerja hingga menderita, bahkan dibunuh oleh tentara Marsose, amarah Demmatande memuncak.
Antara tahun 1910-1912, ribuan masyarakat Mamasa dipaksa membangun jalan dari Takatikung ke Jembatan Kunyi. Demmatande, yang awalnya ikut bekerja bersama rakyatnya, akhirnya tak kuasa menahan empati yang menggerogoti dirinya melihat penindasan. Ia dan pasukannya melancarkan pemberontakan dengan membunuh mandor dan tentara Marsose. Aksi ini memicu ribuan pekerja rodi melarikan diri ke hutan, sementara pasukan Belanda mengejar Demmatande hingga ke kampung halamannya di Paladan.
Pertempuran di Benteng Salubanga
Belanda yang frustrasi karena tidak menemukan Demmatande, melampiaskan amarahnya dengan merusak dan membakar rumahnya serta rumah warga. Mereka bahkan sengaja mengotori tempat makan dan minum Demmatande, sebuah penghinaan besar yang semakin membakar semangat perlawanan Demmatande.
Sebagai respons, Demmatande mengarahkan rakyatnya membangun Benteng Salubanga, sebuah benteng alami yang selesai pada 1914. Benteng ini menjadi saksi bisu dua pertempuran besar di mana Demmatande dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang dilengkapi meriam pada 11 Agustus dan 9 Oktober 1914. Kemenangan ini membuat Belanda menaruh perhatian serius pada sosok Demmatande.