Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku: Inspirasi Memperbaiki Cara Menggunakan Waktu

24 Oktober 2020   12:02 Diperbarui: 25 Oktober 2020   15:34 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yup, setuju kan kalau saya katakan waktu adalah harta manusia paling berharga. Satu lagi adalah kesehatan. Bila keduanya dapat dimanfaatkan maksimal beruntunglah manusia. Sebaliknya sesiapa yang lalai dialah yang merugi. Lagi-lagi buruknya zaman kapitalis sekuler hari ini. Kalaupun ada yang memandang waktu sangat berharga, kebanyakan orientasinya adalah dunia.

Time is money, begitu semboyan mereka. Berharganya waktu terletak pada kemampuannya, untuk memberi kesempatan siapa saja mengasah kemampuan, guna mengumpulkan pundi-pundi harta. Memiliki harta terbanyak adalah puncak kesuksekan. Wajar jika Nagita Slavina berkata pencapaian harta keluarga mereka belum apa -- apa. Mereka belum merasa sukses meski harta telah berlimpah. Meski sang suami sudah pantas digelari sultan oleh netizen, sangking kayanya. Mereka masih mengejar tangga -- tangga kesuksesan yang sudah lebih dulu dimiliki orang lain. Itulah harga kehidupan bagi kaum pencinta dunia. Waktu digunakan untuk kejar mengejar dalam meraih harta.

Pantas saja ketika sejarah kehidupan ulama zaman keemasan Islam menampilkan hal berbeda, para pencinta jalan hijrah mengagumi mereka. Seperti buku ini yang edisi terjemahannya telah naik cetak sebanyak 5 kali. Dalam buku ini ditampilkan model kehidupan para pemilik ilmu yang sangat langka di zaman sekarang. Mereka manusia biasa seperti kita. Bedanya mereka terdidik dengan zaman dimana akidah Islam dijadikan dasar bagi kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara.

Alhasil, mereka (para ulama) memiliki orientasi hidup yang lurus. Hidup untuk mengumpulkan bekal di akhirat. Sebab mereka sadar dunia hanya persinggahan, ditinggali sebentar. Akhiratlah kehidupan kekal. Surga sebaik-baik tempat tinggal. Bagaimana agar misi hidup tercapai, maka mereka mengatur waktu semaksimal mungkin untuk amal salih.

Hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah swt dan RasulNya ingatkan dalam al Qur'an dan as Sunnah. Salah satunya dalam surat pendek yang bisa dilantunkan saat salat. Intinya, manusia akan rugi kecuali jika menggunakan waktunya untuk beramal salih. (QS. Al Asr)

Dalam buku ini terungkap bahwa para ulama beraktivitas berdasarkan prioritas amal yang diatur dalam Islam. Amal yang wajib seluruhnya dikerjakan, yang sunnah diperbanyak, yang makruh dan haram ditinggalkan dan yang mubah dipilih-pilih. Setidaknya aktivitas utama ulama terbagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu ibadah, belajar dan mengajar.

Kalau orang zaman sekarang senang ngobrol hal-hal remeh temeh, sekedar haha hihi. Kalau ulama hanya mau ngobrolin hal berbau ilmu alias solusi. Kalau diajakin sekedar ngobrol ngarul ngidul maka sang alim seperti tabi'in Amir bin Abdi Qais akan berucap, "Tahanlah matahari. Baru aku akan ngobrol denganmu".

Saat ini dunia kuliner cukup digemari. Wisata kuliner hingga muk bang menjadi istilah yang sudah familiar bagi kita. Ternyata kalau bagi ulama makan itu yang penting halal dan thayyib sebagaimana petunjuk Islam. Enggan mereka menghabiskan waktu untuk urusan makan. Makanya dulu ada ulama yang makan malamnya saja disuapi saudara perempuannya selama 30 tahun seperti Syekh Ubaid bin Ya'isy karena beliau sibuk menulis hadis. Atau seperti Syekh Ibnu Suhun yang makan malam disuapi pembantunya karena beliau sedang sibuk menyusun buku. Ulama lainnya ada yang lebih memilih makanan lembut agar tak banyak waktu mengunyah makanan. Rata-rata ulama makannya sedikit. Makan saat lapar. Ini turut membuat mereka sehat selalu.

Itu baru soal makan. Kita akan menemukan banyak hal menakjubkan lainnya dalam buku ini. Seperti tidurnya ulama yang sebentar. Kurang lebih kayak Pak Habibi gitu deh, tidurnya sedikit. Tapi yang seperti Pak Habibi saat ini kan sedikit. Lebih sedikit lagi yang rela tidur sedikit demi meraih pahala dihadapan Allah swt.

Cara ulama mengatur strategi untuk memaksimalkan waktu mengerjakan kewajiban dan efisiensi waktu dalam aktivitas mubah akan kita ketahui di buku ini. Diantara contohnya, mereka memanfaatkan waktu berjalan menuju suatu tempat untuk ngobrolin soal ilmu. Atau seperti Syekh Ibnu Taimiyyah Al-Jadd yang meminta seseorang membacakan kitab sementara dia buang hajat.

Maka kita tak perlu heran jika para ulama dulunya menghasilkan karya-karya tulis yang melampui orang-orang di zaman setelahnya. Disaat sarana menuntut ilmu belum secanggih sekarang, masih mengandalkan alat tulis manual kuno, tapi bukunya berjilid-jilid. Yang sampai ke kita diantaranya kitab tafsir Ibnu Katsir ya, yang cukup tebal. Kitab Hadist Bukhari, Tafsir at Thabari dan lain sebagainya, yang ditulis hingga ratusan ribu lembar dengan tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun