Mohon tunggu...
arka udaya
arka udaya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Oke

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pelecehan Seksual di Sekolah: Luka yang Tak Boleh Dianggap Biasa

29 Juni 2025   22:57 Diperbarui: 29 Juni 2025   22:57 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelecehan Seksual pada Anak (iStockphoto)

Tangerang - Kasus dugaan pelecehan seksual ini bermula pada akhir tahun 2024, tepatnya pada bulan Oktober hingga November, saat para siswa SMK Waskito Tangerang Selatan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sinematografi. Dalam kegiatan ini, sejumlah siswa terlibat dalam pembuatan film pendek sebagai bagian dari pembelajaran di luar kelas, termasuk proses produksi yang dilakukan di sekolah dan sebuah hotel di wilayah Tangerang Selatan.

Pelaku diduga adalah salah satu kakak kelas berinisial S (18), yang memiliki peran sebagai senior atau mentor dalam ekskul tersebut. Dalam posisinya itu, pelaku memiliki relasi kuasa yang besar terhadap adik kelasnya, termasuk korban-korban berinisial B dan N, yang kala itu duduk di kelas X (kelas 1 SMK).

Menurut pengakuan korban dan keterangan orang tua, pelecehan terjadi dalam berbagai bentuk, baik verbal maupun fisik. Aksi-aksi tersebut terjadi berulang kali, bukan dalam satu kejadian, dan dilakukan dalam ruang-ruang yang minim pengawasan, seperti saat kegiatan di hotel atau lokasi syuting tertutup lainnya. Bahkan sempat ada komunikasi manipulatif dari pelaku, yang mencoba menekan atau menenangkan korban agar tidak melapor.

Situasi ini mulai berubah ketika korban pertama (B) mengalami tekanan psikologis berat. Ia menjadi murung, tertutup, bahkan takut untuk datang ke sekolah. Melihat perubahan tersebut, orang tua korban mencoba menelusuri penyebabnya dan mendapati bahwa anak mereka telah menjadi korban pelecehan.

Pada 7 Mei 2025, orang tua B melaporkan peristiwa ini kepada guru Bimbingan Konseling (BK) dan juga ke wakil kepala sekolah. Namun, alih-alih mendapat tanggapan serius, laporan ini tidak direspon secara memadai. Sekolah dianggap lalai karena tidak segera menindaklanjuti laporan atau melibatkan pihak berwenang.

Merasa tidak mendapat perlindungan dari institusi sekolah, keluarga korban akhirnya memutuskan membawa kasus ini ke jalur hukum. Pada 10 Mei 2025, dua korban resmi melaporkan pelaku ke Polres Tangerang Selatan. Mereka didampingi oleh orang tua dan mendapat dukungan langsung dari Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan, yang menemui korban dan menyatakan komitmennya untuk mengawal kasus ini.

Seiring penyelidikan, muncul dugaan bahwa korban tidak hanya dua orang, melainkan hingga lima siswi yang terdampak, meskipun belum semuanya melapor resmi. Saat ini, pihak kepolisian telah memanggil saksi-saksi, memeriksa pihak sekolah, dan melakukan penyelidikan mendalam terhadap pelaku.

Peristiwa ini sontak mendapat sorotan luas masyarakat dan media. Wali Kota Tangsel juga turun tangan dengan menginstruksikan Dinas Pendidikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sekolah dan memastikan kejadian serupa tidak terulang.


Faktor apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi?

Kasus pelecehan seksual ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada banyak faktor penyebab yang saling terkait dan membentuk lingkungan yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi. Pertama, kelalaian institusi sekolah menjadi sorotan utama. Saat laporan awal disampaikan ke guru BK dan pihak sekolah pada 7 Mei 2025, respons yang diberikan sangat minim, bahkan terkesan mengabaikan. Ketidakseriusan dalam menanggapi aduan awal ini memperlihatkan bahwa mekanisme perlindungan di sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya. Sistem pengaduan internal yang seharusnya menjadi tempat aman bagi siswa justru gagal menjalankan fungsinya.

Penyebab lainnya adalah relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Pelaku adalah senior yang memiliki kedekatan struktural dalam ekskul sinematografi, yang membuatnya bisa memanfaatkan posisinya untuk melakukan manipulasi, intimidasi, atau pendekatan yang sulit ditolak oleh korban. Sayangnya, tidak ada pengawasan yang ketat dari guru pembina dalam aktivitas ekstrakurikuler tersebut. Situasi inilah yang memberi ruang gelap bagi pelaku untuk bertindak bebas dan berulang.

Selain itu, minimnya edukasi tentang kekerasan seksual dan hak-hak siswa di sekolah turut memperparah keadaan. Banyak siswa belum memahami batasan perilaku yang patut dan tidak patut, baik dari segi fisik maupun verbal. Bahkan, sebagian siswa mungkin merasa kebingungan untuk mengenali tindakan pelecehan atau cara melaporkannya karena tidak adanya sosialisasi khusus dari pihak sekolah.

Tak kalah penting, ada stigma sosial dan tekanan psikologis yang membuat korban enggan untuk segera bersuara. Rasa takut disalahkan, takut tidak dipercaya, bahkan takut diintimidasi oleh lingkungan sekolah atau pelaku, menciptakan suasana yang mengekang korban. Semua faktor ini bersatu dan menciptakan kondisi yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi secara sistemik dan berulang di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman: sekolah.

Bagaimana Pencegahan Supaya Hal Ini Tidak Terjadi?

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa pencegahan kekerasan seksual di sekolah tidak bisa lagi bersifat simbolik atau hanya sebatas imbauan. Sekolah harus menjadi ruang yang aman secara fisik, mental, dan emosional bagi semua peserta didik. Untuk itu, langkah pertama yang sangat penting adalah menanamkan pendidikan seksualitas yang komprehensif dan sesuai usia. Siswa perlu dibekali pemahaman tentang batas tubuh, bentuk-bentuk pelecehan, hak atas rasa aman, serta pentingnya persetujuan dalam interaksi sosial. Pendidikan ini tidak hanya untuk siswa, tetapi juga untuk guru, tenaga kependidikan, dan orang tua.

Selain itu, sekolah wajib memiliki sistem pengawasan yang aktif dan transparan, terutama dalam kegiatan luar kelas seperti ekskul atau studi lapangan. Keterlibatan guru sebagai pendamping dalam setiap aktivitas harus dilakukan secara konsisten, bukan sekadar formalitas. Relasi kuasa antara siswa senior dan junior juga perlu diawasi secara serius, agar tidak menjadi celah bagi praktik-praktik penyimpangan.

Tidak kalah penting, dibutuhkan saluran pelaporan yang aman, mudah diakses, dan ramah anak. Sekolah harus menyediakan ruang yang memungkinkan siswa menyampaikan keluhan secara anonim, tanpa rasa takut akan pembalasan atau stigmatisasi. Laporan-laporan tersebut juga harus ditangani oleh tim yang profesional dan memiliki perspektif perlindungan anak serta gender. Pelatihan guru dan staf sekolah secara berkala mengenai penanganan kasus kekerasan seksual dan dukungan psikologis juga merupakan keharusan, bukan pilihan.

Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan perlu menetapkan standar protokol pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah, dan melakukan audit rutin terhadap pelaksanaannya. Masyarakat dan lembaga non-pemerintah pun harus dilibatkan untuk menciptakan ekosistem pencegahan yang lebih luas dan berkelanjutan. Hanya dengan upaya kolektif dan komitmen kuat dari semua pihak, sekolah bisa benar-benar menjadi tempat yang mendidik, bukan melukai.

Apa Penanggulangannya yang Harus Ditegakkan?

Penanggulangan atas kasus pelecehan seksual di sekolah harus dilakukan secara menyeluruh, cepat, dan berpihak pada korban. Langkah pertama dan utama adalah penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku. Dalam kasus ini, pelaku yang masih berstatus pelajar tetap harus diproses secara hukum sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama Pasal 289 tentang pencabulan atau pasal lainnya yang relevan. Bila terbukti bersalah, pelaku harus dijatuhi sanksi pidana berupa penjara, serta rehabilitasi psikologis khusus, mengingat statusnya masih remaja. Namun, status pelajar tidak boleh dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab hukum --- karena kejahatan seksual adalah pelanggaran serius atas hak dasar anak lain untuk merasa aman dan terlindungi.

Lebih lanjut, pihak sekolah pun tidak boleh luput dari tanggung jawab. Jika terbukti terjadi pembiaran, kelalaian, atau bahkan penutupan kasus secara internal, maka guru BK, wali kelas, ataupun jajaran pimpinan sekolah dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran keras, pencopotan jabatan, hingga pemecatan, sesuai aturan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Sekolah juga wajib menyampaikan permintaan maaf terbuka serta menjalani proses evaluasi kelembagaan oleh Dinas Pendidikan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Untuk korban, langkah penanggulangan yang tidak kalah penting adalah pemulihan psikologis secara berkelanjutan. Pemerintah daerah harus memastikan korban mendapatkan layanan konseling dari psikolog anak dan pendampingan hukum yang layak. Upaya ini tidak boleh hanya dilakukan sekali, melainkan harus menyertakan pendampingan hingga korban benar-benar pulih dan bisa kembali belajar dengan tenang. Bila perlu, korban dapat diberi fasilitas pindah sekolah dengan jaminan perlindungan dan pemulihan hak pendidikan.

Secara sistemik, kasus ini harus menjadi pintu masuk bagi perubahan. Pemerintah harus mengeluarkan protokol nasional tentang penanganan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk pembentukan unit layanan khusus di sekolah yang bertugas menangani kekerasan seksual, dilengkapi tenaga profesional. Dalam jangka panjang, dibutuhkan komitmen kuat untuk membangun budaya sekolah yang berpihak pada keselamatan dan martabat peserta didik. Karena tanpa keberpihakan itu, luka-luka serupa akan terus berulang, dan sekolah akan gagal menjalankan perannya sebagai tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak kita.

Sudah saatnya pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat luas tidak lagi bersikap reaktif dan parsial. Diperlukan pembaruan sistemik dan menyeluruh untuk menciptakan sekolah yang benar-benar aman dan ramah anak. Pemerintah pusat, melalui Kemendikbudristek dan Kementerian PPPA, harus segera menyusun regulasi tegas yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk kewajiban setiap sekolah memiliki unit penanganan khusus, SOP pelaporan, hingga mekanisme perlindungan terhadap korban dan saksi. Pemerintah daerah juga perlu lebih proaktif dengan mengadakan pelatihan rutin bagi guru dan staf sekolah agar paham bagaimana merespons laporan korban secara cepat dan empatik.

Selain itu, pengawasan terhadap kegiatan ekstrakurikuler dan interaksi antarsiswa harus diperketat. Semua aktivitas siswa, terutama yang dilakukan di luar ruang kelas atau dalam bimbingan senior, harus berada dalam pengawasan guru atau pembina yang bertanggung jawab. Di sisi lain, sekolah harus membuka ruang diskusi yang aman, seperti forum siswa atau sesi konseling terbuka, agar peserta didik memiliki keberanian untuk menyuarakan keresahan mereka tanpa takut dihakimi. Tak kalah penting, masyarakat dan media perlu terus mengawal kasus seperti ini agar tidak tenggelam, serta mendorong budaya zero tolerance terhadap kekerasan seksual di mana pun - terutama di sekolah, tempat anak-anak seharusnya merasa paling dilindungi.

Jika seluruh elemen ini berjalan bersama, kasus-kasus seperti yang menimpa dua siswi di Tangerang Selatan tidak akan lagi terulang. Sudah waktunya kita berhenti mengatakan "jangan sampai terjadi lagi", dan mulai memastikan bahwa itu benar-benar tidak akan pernah terjadi lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun