Mohon tunggu...
Ari Widodo
Ari Widodo Mohon Tunggu... profesional -

Nama (huruf besar) : ARI WIDODO, SE\r\n2. Laki-Laki/Wanita : Laki-laki\r\n3. Tempat Lahir/Tanggal : Lubuklinggau, 26 Februari \r\n5. Alamat tempat tinggal : Perumahan BSP Blok B2 No 48 RT 9 \r\n Dusun Purwobakti, Kecamatan Bathin III, \r\n Kabupaten Bungo, Jambi\r\n12. Menjadi Anggota PWI sejak : 2008\r\n13. Nomor Anggota PWI : 05.00.15867.12\r\n14. Tergabung pada PWI Cabang : Muarabungo, Jambi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (5)

23 September 2012   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1348416350696111671

[caption id="attachment_214099" align="alignright" width="538" caption="TERKENAL: Simpang Tengek yang dikenal warga Muarabungo berada di Jalan Lebai Hasan. "][/caption] Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (5)

Perkumpulan PITI Bakal Bangun Masjid Tionghoa

WARGA Tionghoa Bungo tak hanya pemeluk agama Buddha saja. Ada pula sebagai pemeluk agama Islam dan keberagaman pemeluk sangat toleransi termasuk dari berbagai kegiatan. Tergabung ke dalam Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), warga Muslim Tionghoa kini akan mendirikan Masjid Tionghoa dan Islamic Centre Mualaf dan Tionghoa. Hal itu didasarkan selama ini mereka menjalankan aktivitas agama dari rumah ke rumah.

Ari Widodo, Muarabungo

MIMPI umat muslim dari etnis Tionghoa di Muarabungo untuk memiliki masjid akhirnya segera terealisasi. Dalam waktu dekat, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Bungoakan membangun sebuah masjid di Muarabungo tepatnya di pal 9 Kecamatan Bathin III.

Masjid itu rencananya akan dimulai pembangunan pada tahun depan. Ketua PITI Bungo HAhong mengungkapkan, mimpi untuk memiliki masjid sendiri sudah ada sejak lama. Namun karena pembangunannya membutuhkan biaya yang sangat besar, rencana itu belum bisa direalisasikan. “Insya Allah bila sudah dilakukan peletakan batu pertama langsung kita laksanakan pembangunan. Lokasi tanah sudah ada,” katanya.

Setelah beberapa anggota memberikan semangat untuk segera membangun masjid tersebut, PITI Bungo termotivasi untuk segera merealisasikannya. “Tanah dibeli dari awalnya 2,5 hektar Kini menambah lagi sekitar 1,5 hektar sudah diratakan. Selai masjid ada juga rencana pembangunan asrama dan pusat kegiatan agama Islam,” tuturnya. .

Senada dikatakan Ketua Bidang Olahraga Dan Pemuda PITI Bungo Edi Susanto, saat pertemuan pada 2008 silam, sejumlah tokoh etnis Tionghoa yang hadir seperti dia sendiri, serta Ketua Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia Bungo H Ahong membicarakan pembangunan masjid. “Dari sumbangan yang diberikan oleh donatur ikut membantu berdirinya masjid muslim Tionghoa di Muarabungo. Keinginan ini bukan pribadi tetapi untuk bersama,”ujarnya.

Sebab, ini akan menjadi simbol bagi umat muslim Tionghoa di Bungo, khususnya di Kota Muarabungo. “Di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya, umat muslim Tionghoa sudah memiliki masjid sendiri. Insya Allah bila tidak ada halangan pada 2013 nanti masjid tersebut sudah dibangun,” ujarnya.

Menurutnya, dana untuk membeli lahan dan rencana pembangunan masjid sepenuhnya masih berasal dari anggota PITI. Untuk kedepannya warga PITI mengharapkan dukungan dan bantuan dalam mendukung sarana ibadah dan pendidikan ini. Arsitekturnya memadukan budaya Tiongkok kuno pada bagian kap atas, budaya Timur Tengah pada bagian tengahnya, dan untuk bagian depan Masjid.

Sebagai langkah awal, PITI sudah mencari lahan yang cocok dijadikan masjid. Lahan yang dibutuhkan sekurang- kurangnya seluas 2 hektar. Lokasi pembangunannya di kawasan kota. “Selain merupakan kebanggaan bagi umat muslim Tionghoa, dengan adanya masjid akan semakin membuktikan kerukunan umat beragama di Bungo,” paparnya.

Humas PITI Bungo Hendri atau biasa disapa Ahengmenambahkan menegaskan untuk segera membangun masjid muslim Tionghoa di Muarabungo. PITI Bungosendiri sudah memiliki sebidang lahan di Jalan Iintas. Bila memungkinkan, di lokasi inilah akan dibangun masjid itu. Namun, pihaknya masih berusaha mencari lahan lainnya yang bisa dijadikan sebagai perbandingan dengan yang sudah tersedia. “Memang sepertinya agak sulit mencari lahan kosong yang cukup luas di tengah kota. Namun, itu tidak mengecilkan harapan kami untuk mendapatkan lahan. Sebab, hal tersebut sesuai dengan anjuran imam besar untuk membangun masjid di tengah kota,”ungkapnya.

Sementara biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan masjid diperkirakan sekitar Rp 2 miliar. PITI Bungo berharap dana sebesar itu bisa segera dikumpulkan.“Kini kita masih mencari donatur menyatakan akan membantu pembangunan masjid tersebut. Jadi masalah biaya jangan terlalu dipikirkan,”ujarnya.

Pendirian Masjid Muslim Tionghoa di Kota Medan akan semakin mempererat hubungan sesama kaum Muslim Tionghoa. Dalam perencanaan akan membangun asrama dan pusat kegiatan usaha. Masjid yang akan memadukan gaya arsitektur China, Arab lebih cenderung masjid di Madinah. Dibangun guna memperkaya khasanah keragaman di Provinsi Jambi.

“Saya berharap, Masjid Tionghoa pertama di Provinsi Jambi ini akan menjadi salah satu ikon Kota Jambi. Kita juga berharap pembangunannya cepat selesai dan nantinya banyak dikunjungi masyarakat,” katanya. (bersambung)

Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa Bungo (6)

Tionghoa Kristen Khatolik Tetap Berbaur

KHAZANAH keberagaman Tionghoa di Bungo cukup menarik, bagi mereka beragama Kristen Khatolik bergaul dengan masyarakat setempat adalah hal penting. Mereka bergaul tanpa pandang buluh, pembauran yang dilakukan Tionghoa Kristen Khatolik patut diapresiasi, karena mereka saling menghargai hingga masalah ibadatnya.

Ari Widodo, Muarabungo

BILA kita melihat setiap Malam minggu maupun Minggu pagi keramaian di Gereja ST Paulus Muarabungo kegiatan keagamaan diramaikan warga Tionghoa Bungo beragama Khatolik. Jumlah mereka cukup banyak, ada puluhan melaksanakan ibadah setiap pekan sekali sebagai Kristen yang taat agamanya. Hal ini juga diungkapkan David Effendi (48) salah seorang warga Tionghoa Bungo kepada Radar Bungo Tebo.

Dia menjelaskan pada dasarnya warga Tionghoa yang beragama Kristen Khatolik sudah ada sejak zaman Belanda. Kala itu memang warga Tionghoa Kristen Khatolik melakukan peribadatan di rumah masing-masing. Ada juga mereka pemeluk Kristen Khatolik berdasarkan setelah mereka menempuh pendidikan di sekolah Khatolik. “Setelah mereka pulang dari sekolah dan mulai berbaur di tengah masyarakat. Tetapi kegiatan yang kami lakukan tidak pernah mengganggu orang lain. Kami juga saling toleransi dan berbaur dengan mereka beragama muslim atau lainnya. Bila sebelum adanya tempat ibadah kami lakukan di rumah-rumah. Tetapi setelah berdirinya Gereja ST Paulus, kami punya pusat peribadatan,” katanya.

Sebagai warga taat beragama, dikatakan pria biasa disapa Akun ini, kelompok mereka mengadakan perkumpulan. Setiap Minggu melakukan doa lingkungan dari rumah ke rumah. Kegiatan itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan yang telah memberikan kami kemudahan.

“Sebagai contoh saya pernah mengalami susah, memang saya bukan ingin menceritakan hal buruk. Inilah harus diakui bahwa salah satu sisi jelek warga kita (Tionghoa, red) ketika saya jatuh mereka sisihkan saya. Ketika saya jaya mereka dekat dengan saya. Seharusnya tidak boleh seperti itu. Itu kritikan saya saja. Saya sendiri bergaul tanpa pandang buluh, kebanyakan teman saya malah orang dusun tapi mereka tetap menghargai saya,” ungkapnya.

Dikatakan Akun sebagai keturunan Tionghoa dirinya tak lupa dengan adat istiadat maupun silsilah keturunan. Putra dari Effendi (wisun) Sumarni (Ai Guwek) ini menjelaskan bahwa dia sendiri di dalam rumahnya tetap saling menghargai. Dua saudaranya masih beragama Buddha, satu orang pemeluk Islam dan dia dengan adiknya pemeluk agama Kristen Khatolik. “Kami tetap akur dan saling menghargai karena orang tua kami tidak membatasi mau anaknya apa. Terpenting kerukunan di dalam keluarga paling penting,” ungkap suami Caroline Nini atau biasa disapa A Huai.

Di tengah masyarakat pun Akun mengaku dia bersama warga Tionghoa Khatolik lainnya tetap peduli sesama. Bila ada kegiatan amal saling membantu. Dia sendiri tetap membantu bila ada yang meminta tolong.

“Makanya itu saya bersama teman lain tak akan pandang siapa orangnya. Terpenting kami saling menghargai dan saling menghormati. setiap Bila ada warga yang kesusahan kami bantu. Saya menyumbang setiap kegiatan Dan untuk membantu kegiatan keagamaan. Saya juga termasuk salah satu pendiri SD Xaverius karena membantu pengurusan izin semuanya. Dulu ketika saya pernah sakit, bila saya sembuh maka saya berjanji akan membangun goa maria. Setelah saya sembuh saya tepati janji itu membangun di dekat Gereja ST Paulus,” ujar ayah lima anak ini. (bersambung)

Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (7)

Perkumpulan Pemakaman Budhi Dharma, Salah Satu Sarana Penting

Keberadaan masyarakat Tionghoa di Bungo tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali datang ke kota ini. tidak ada literatur atau catatan resmi yang bisa mengungkapkan hal ini. Hanya dibuktikan beberapa fasilitas kegiatan yang mereka bangun. Salah satunya Perkumpulan Pemakaman Budhi Dharma salah satu sarana yang vital bagi mereka.

Ari Widodo, Muarabungo

Warga Tionghoa Bungo boleh dikatakan sejak zaman Belanda memiliki peranan dalam perekonomian di Kabupaten Bungo. Mereka berbaur dan maju bersama. Termasuk dalam hal sosial, cukup baik dengan mendirikan tempat perkumpulan pemakaman bagi keluarga mereka yang meninggal.

Perkumpulan Pemakaman yang didirikan sejak 2004 silam ini memiliki peran penting. Setiap warga Tionghoa yang meninggal khususnya beragama Buddha dibawa ke tempat ini. Proses pengurusan pemakaman dan lainnya dilakukan di tempat yang berukuran 10x18 meter itu. Bila kita melihat dari depan desain bangunan sudah mengadopsi kasanah kebudayaan lokal Kabupaten Bungo. Berbentuk khas Bungo tempat perkumpulan pemakaman atas dasar gagasan brilian Buyung Fajar warga Tionghoa yang sebelumnya pernah bermukim di Padang Sumbar.

Dia melihat kalau sebelumnya warga Tionghoa yang meninggal pengurusan jenazah hingga pemakaman dari rumah masing-masing, pada akhirnya dia mengusulkan kepada pengurus Bakom PKB Bungo mendirikan tempat pengurusan jenazah warga Tionghoa.

“Yayasan itu dibuat pada 2004 dan pembangunannya hanya satu tahun. Kalau penggagas yayasan, Pak buyung Fajar termasuk ketuanya saat itu. Sebelum berdirinya yayasan itu saya saya ketua Bakom yang mengurus kematian, ya Ketua Bakom langsung turun tangan. Sejak dibuat pengurus Yayasan kini mulai ngurus itu mereka,” kata Ketua Bakom PKB Ariango alias Athong.

Sejak pak Buyung Fajar tidak lagi aktif mengelola yayasan atau perkumpulan pemakaman maka kegiatan sehari-hari diserahkan kepada Alang Indo Logam. Kata Athong dia menjabat Ketua Harian, dan mengelola yayasan itu bersama Ahong Bungo Permai. “Dulu zaman Belanda lokasi pemakaman kita berada di eks terminal lama. Setelah pemerintah lakukan tukar guling, kami pindah ke pal 6 lahan yang cukup luas dekat GOR Serunai Baru,” katanya.

Dulunya kata Athong kalau ada yang meninggal maka dilakukan di rumah masing-masing, sedangkan peralatan diambil dari penyimpanan gudang sendiri. Kalau dulu susah mencari bahan untuk pemakaman.

Pada waktu itu ketika proses pemakaman, para pelayat dan pengiring jenasah berjalan kaki sepanjang jalan. Proses pemakaman masih memakai mobil yang ditarik. Semakin banyak anggota dan perlunya tempat yang lebih luas yang kini berada di jalan Durian yang kini menjadi jalan Lebai Hasan. “Setiap ada warga Tionghoa yang meninggal maka kegiatan dilakukan di tempat itu,” katanya. (bersambung)

Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (8)

Pedagang  Tengek, Disebut Jadi Nama Simpang Jalan

WARGA Tionghoa Bungo boleh dikatakan berpengaruh dalam kehidupan kesehariannya. Bahkan oleh warga sekitar keberadaan mereka dikenal hingga menjadi ikon sebuah simpang jalan Durian. Sebut saja pak Tengek, pengusaha manisan yang dulu bermukim di simpang empat Jalan Lebai Hasan (Durian) dan jalan Sapta Marga.

Ari Widodo, Muarabungo

JIKA kita berjalan menuju arah Kelurahan Sungai Pinang melalui jalan Lebai Hasan (Jalan Durian) maka akan menemukan simpang empat yang sudah terkenal. Kalau kita menyebutnya simpang Sapta Marga mungkin orang cukup kenal, namun yang lebih terkenal lagi dengan simpang Tengek. Entah kapan mulai warga Muarabungo menyebutkan nama simpang ini dari pengusaha manisan yang biasa disapa Tengek, namun semua warga Bungo pasti kenal nama daerah itu.

Simpang jalan Sapta Marga dan Jalan Durian serta jalan M Yusuf Alakaf ini dulunya dikenal dengan simpang Sapta Marga atau simpang CV Selamat. Karena simpang masuk ke jalan Yusuf Alakaf banyak warga mengambil pasir. Namun diperkirakan pada 1990 Tengek membuka toko di samping H Mahmud itu itulah yang membuat namanya menjadi nama simpang empat jalan yang ramai pengendara.

Hal itu diungkapkan Ketua Bakom PKB Arianto, menurutnya sebelum Tengek masuk ke kawasan Jalan Sungai Pinang Mudik atau jalan Lebai Hasan simpang itu dikenal dengan simpang Sapta Marga. Di kawasan itu jalan Sapta Marga tempat bermukimnya TNI, di seberangnya dikenal dengan Simpang CV Selamat. “Karena banyak orang ambil pasir ke daerah itu. Sejak 1990 Tengek buka di toko simpang warung Haji Mahmud maka nama simpang itu lebih dikenal dengan simpang Tengek,” ungkap pria biasa disapa Athong.

Lalu siapa Tengek sendiri?, dikatakan Athong sepengetahuannya Tengek merupakan warga keturunan Tionghoa kelahiran Bungo. Awalnya dia bermukim di jalan Kamboja Pasar Bawah Muarabungo. Dia sendiri bermarga Thew Chew dan memiliki 5 saudara. Diketahui pula keluarganya cukup berhasil, kakak beradiknya ada yang berdomisili di Jambi dan satu orang keluarganya menjadi penjual Toko Emas Cantik. “Makanya hingga kini simpang Tengek masih dikenal walaupun dia sudah meninggal. Dan tokonya sempat terbakar beberapa tahun yang lalu,” ujarnya.

Senada diungkapkan Loi Hui Shien salah satu sesepuh warga Tionghoa sebelum Tengek masuk ke kawasan Jalan Lebai Hasan, simpang itu dikenal dengan simpang Sapta Marga. “Kalau tidak salah sekitar 1990 Tengek membuka di toko samping warung Haji Mahmud. Orang kenal dia dengan berjualan manisan dan cukup sukses, makanya simpang itu dikenal dengan Tengek. Entah kapan mulainya yang jelas kini masih disebut kalau orang tanya mana simpang Tengek pasti tahu,” ujarnya. (bersambung)

Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (9-Habis)

Etnis Tionghoa Pernah Bermukim di Tanjung Gedang

MASUKNYA warga Tionghoa di Muarabungo berbagai macam cara, ada yang menggunakan sistem perdagangan dan memang ada yang sengaja hijrah ke Muarabungo untuk mencari penghidupan. Salah satu lokasi yang pernah ditempati oleh etnis Tionghoa Tanjung Gedang. Dulu daerah itu merupakan sentra perekonomian di Muarabungo.

Ari Widodo, Muarabungo

KAMPUNG Tanjung Gedang yang kini dikenal dengan Kelurahan Tanjung Gedang dulu pada zaman Belanda dan era usai kemerdekaan salah satu lokasi yang sangat strategis. Sentra perekonomian dan sendi kehidupan warga Muarabungo awalnya di daerah ini. Tempat ini pula menjadi incaran warga Tionghoa untuk berdagang atau bermukim serta bermasyarakat.

Bila kita melihat kawasan itu kini tidak jauh berbeda zaman dulu. Masih terdapat masjid lama di tepi Sungai Batang Bungo. Serta bangunan semi permanen yang diperkirakan puluhan tahun. Tak banyak warga Tanjung Gedang yang kini menggantungkan pada sentra perdagangan. Tak banyak pula warga Tionghoa yang bermukim di sana. Hanya beberapa orang saja masih bertahan menetap di sana.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kampung Tanjung Gedang atau Tanjung Gedang Lamo memiliki sendi kehidupan perairan. Ketika itu ada beberapa pelabuhan sungai yang menjadi urat nadi bagi warga Muarabungo sekitarnya di kawasan itu. Termasuk dengan warga Tionghoa dari Dusun atau Mudik atau mereka dari Jambi melalui jalur Sungai Batanghari.

Diceritakan sesepuh Tionghoa Bungo, Loi Hui Shien kepada Radar Bungo Tebo sekitar 1950-an banyak pedagang Tionghoa dari Jambi menuju Bungo melalui jalur Sungai Batang Tebo. Ketika itu jalur jalan darat belum dibuat hanya terdapat jalan setapak yang bisa menuju ke Tanah Tumbu hingga ke Bukittinggi.

Kebanyakan warga baik dari mudik atau dari Jambi menggunakan kapal tempek (perahu). Warga Tionghoa baik dari Tanah Tumbuh, Pelayang atau dari kawasan Pelepat memadati kawasan Tanjung Gedang apabila mereka mau ke Jambi. Atau dari Jambi membawa barang di Pelabuhan Tanjung Gedang pinggir sungai Batang Bungo. “Pelabuhan itu dikenal pelabuhan Tanjung Gedang Lamo. Ada juga pelabuhan di kawasan Tanjung Gedang pelabuhan Pelayangan Lamo atau samping kantor lurah kebanyakan kapal tempek dari Jambi merapat di sana. Pelabuhan bom Lama tak jauh dari Kampung Tanjung Gedang juga ramai setelah pelabuhan itu bergeser,” papar pria berumur 69 tahun ini.

Barulah sekitar tahun 1970 pelabuhan bom baru dibuat pada zaman Bupati Hoessin Saad dan Haji Hasan. “Sekitar 1977 lalu jalan lintas Sumatera bagus dan bisa menuju jambi atau padang itulah semua pelabuhan hilang. Warga Tionghoa mulai bergeser ke pasar bawah dan berpindah ke beberapa tempat,” katanya. (***)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun