Tentu saja target tersebut ikut 'menyerempet' ke CHT. Sejauh ini, CHT masih jadi primadona bagi penerimaan cukai negara setiap tahunnya. Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan CHT alias rokok sepanjang 2022 mencapai Rp 218,62 triliun. Angka ini setara 104 persen dari target yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.98 Tahun 2022 sebesar Rp209,91 triliun.
Menyoal kenaikan CHT pada tahun 2024, sebenarnya sudah diinformasikan pemerintah sejak tahun lalu (2022). Namun, melesatnya terus kenaikan CHT yang terjadi hampir setiap tahun ini, membuat para pelaku industri hasil tembakau menjadi ketar-ketir. Dihimpun dari berbagai data, sejak tahun 2012 hingga 2022, kenaikan CHT rata-rata di angka 10,8 persen. Bila diakumulasi selama 10 tahun terakhir, kenaikan CHT berjumlah sekitar 108,6 persen!
Alibi pemerintah terhadap kebijakan kenaikan CHT setiap tahunnya bertujuan untuk menekan serendah-rendahnya tingkat prevalensi perokok, khususnya anak di bawah umur 18 tahun. Selain itu, kenaikan CHT tersebut juga dikarenakan faktor ekonomi negara, yakni untuk menambah penerimaan negara dari sisi cukai.
Kendati demikian, jika dicermati di tahun ini, harapan pemerintah untuk mendapatkan sumber penerimaan negara yang besar dari CHT malah tidak terealisasi. Alih-alih trennya positif seperti ekspektasi pemerintah, tetapi justru menjadi kontra-produktif. Alasan tersebut dapat ditelusuri dari andil CHT kepada penerimaan cukai negara yang malah merosot.
Riset lembaga ekonomi INDEF menyebutkan bahwa mulai dari Januari hingga Agustus 2023 terjadi penurunan olahan tembakau (rokok) sebesar 197,5 miliar batang atau setara 2,1 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022.
Dari situ dapat dipahami bahwa harapan bertambahnya penerimaan negara dari CHT ternyata tidak dapat terwujud karena produksi rokok semakin menurun. Amat jelas bahwa faktor penurunan itu disebabkan tingginya kebijakan kenaikan CHT yang ditetapkan pemerintah sehingga pabrikan rokok perlu menyiasati ongkos bisnis agar dapat tetap eksis dengan cara memperkecil jumlah produksi.
Bahkan, data Bea Cukai Kementerian Keuangan mencatat penerimaan CHT hingga akhir Agustus 2023 yaitu sebesar Rp126,8 triliun atau turun 5,82 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022.
Paparan minimnya presentase CHT terhadap penerimaan cukai negara pasti tidak membanggakan. Apalagi, seperti yang telah dijelaskan di awal, CHT merupakan salah satu andalan bagi penerimaan negara. Namun, malah menjadi blunder akibat keputusan pemerintah yang hampir setiap tahun menaikkan CHT.
Efek samping lainnya dari tingginya CHT ini adalah maraknya peredaran rokok ilegal maupun produski rokok murah. Penjualan rokok ilegal tentu saja tidak menyumbang pada penerimaan cukai negara, sebab pada setiap bungkus rokok ilegal tersebut tidak terdapat pita cukai atau menggunakan pita cukai yang salah peruntukkan.
Selain itu, kenaikan cukai rokok yang eksesif terhadap konsumen berdampak ke pindahnya konsumsi perokok ke rokok-rokok murah. Saat ini terjadi fenomena di mana perokok yang biasanya merokok dari produk-produk di Golongan I berpindah mengonsumsi rokok-rokok di Golongan II atau III.
Akhirnya, kebijakan yang tepat dan strategis bagi IHT perlu dipikirikan secara matang oleh pemerintah, utamanya Kementerian Keuangan, dalam menjaga keberlanjutan masa depan IHT. Saat ini, cita-cita pemerintah untuk mendulang penerimaan negara yang besar dari menaikkan CHT justru tidak berdampak signifikan. Pemerintah perlu mencari rumusan baru untuk menunjang pendapatan cukai negara tanpa menaikkan lagi CHT pada tahun-tahun selanjutnya.