Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Penulis, Pemerhati hubungan internasional, sosial budaya, kuliner, travel, film dan olahraga

Pemerhati hubungan internasional, penulis buku Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. http://kompasiana.com/arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Menguak Misteri "Beras Onta Solo"

19 September 2025   07:11 Diperbarui: 19 September 2025   07:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beras Onta Solo, sumber: dokpri Aris Heru Utomo

Akhir pekan lalu, saya singgah di sebuah toko beras kecil di sudut Bekasi. Toko itu tampak sederhana, namun memajang beragam jenis beras yang ditata rapi dalam beberapa bak plastik terbuka dengan papan nama kecil di atas beras. Tampak nama-nama Beras Merah, Beras Ketan, Beras Sentra Ramos, Beras Pandan Wangi, Beras Jasmin (Melati), Beras Rojolele, Beras Mentik Wangi, dan Beras Onta Solo. Dari semua beras yang dipajang, semuanya nama yang lazim ditemui, kecuali Beras Onta Solo seharga Rp. 15.000 per liter yang terasa ganjil sekaligus menggelitik.

Pertanyaan langsung berkelebat di kepala: mengapa dinamakan demikian? Bukankah onta, hewan yang identik dengan padang pasir Timur Tengah, jelas tidak makan beras? Apa hubungan antara onta dan Kota Solo?

Rasa penasaran itu membuat saya langsung menanyakan asal-usul nama unik tersebut kepada penjual. Ia hanya tersenyum lalu menggelengkan kepala, tanda ketidaktahuan. "Wah, saya juga kurang paham, Pak. Dari sananya sudah dikasih nama begitu," jawabnya singkat.

Saya pun pulang dengan rasa penasaran yang tak terjawab. Sebagai orang yang terbiasa tak berhenti sebelum menemukan titik terang, saya memutuskan mencari jawaban lewat mesin pencari yang kerap dijuluki "Mbah Google."

Pencarian membawa saya pada sebuah informasi mengejutkan. Ternyata, "Beras Onta Solo" bukan sekadar nama dagang unik, melainkan sebuah merek beras oplosan yang sempat beredar di Kota Solo. Laporan mengenai beras ini bahkan sampai ke Dinas Perdagangan Kota pada Juli 2025. Beras tersebut ditemukan dijual di berbagai pasar tradisional hingga toko ritel modern di Surakarta.

Sayangnya, meskipun banyak sumber menyebut soal keberadaan beras oplosan ini, tidak ada satu pun penjelasan spesifik mengenai alasan pemilihan nama "Onta Solo." Apakah sekadar strategi pemasaran, plesetan, atau justru ada kisah historis di baliknya, semuanya terkesan misteri.

Fenomena Penamaan: Antara Tempat dan Identitas

Jika kita membandingkan dengan penamaan produk lain dari Solo, terasa ada kejanggalan. Ambil contoh Serabi Solo. Nama itu jelas mengacu pada kuliner khas dari daerah Notokusuman, Solo, yang memang memiliki bentuk, tekstur, dan cita rasa berbeda dari serabi di daerah lain. Sebutan "Serabi Notosuman Solo" bukan hanya menunjukkan asal usul, tetapi juga menjadi identitas kuliner kota itu.

Hal serupa terjadi dengan penyebutan "Gang Solo" yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di masyarakat. Nama tersebut merujuk pada kelompok atau komunitas tertentu yang berasal dari Solo. Begitu pula dengan klub sepakbola legendaris Persis Solo, yang secara gamblang menunjukkan identitas geografisnya.

Dalam kasus-kasus ini, nama selalu berkaitan erat dengan asal-usul tempat atau ciri khas lokal. Lantas, bagaimana dengan "Beras Onta Solo"?

Menurut pakar pemasaran, penamaan produk sebenarnya bukan hal sepele. Dalam dunia pemasaran, nama adalah pintu masuk pertama bagi konsumen untuk mengingat dan membedakan sebuah produk. Nama yang unik sering kali dipilih untuk menarik perhatian, menimbulkan rasa ingin tahu, sekaligus melekat di benak konsumen.

Boleh jadi, nama "Onta Solo" dipilih karena sifatnya yang nyentrik dan tak biasa. Bayangkan, di antara deretan nama beras yang sudah umum seperti Ramos, Rojolele, dan Pandan Wangi, tiba-tiba ada satu nama hewan gurun yang jauh dari asosiasi beras. Efek kejut inilah yang mungkin dicari oleh pemilik merek.

Namun, di sisi lain, keterkaitan nama ini dengan praktik beras oplosan justru menimbulkan tanda tanya lebih besar. Apakah "onta" di sini sekadar simbol keuletan dan daya tahan, atau justru sebuah kode dagang yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu? Hingga kini, tidak ada jawaban pasti.

Sebenarnya, penggunaan nama nyeleneh bukan hal baru dalam tradisi pasar Indonesia. Kita sering menemukan produk dengan label ekstrem untuk menarik perhatian. Misalnya, Rawon Setan yang populer pertama kali di Surabaya lalu menyebar ke banyak kota. Nama itu dipakai karena level pedasnya konon "menyiksa" lidah, tetapi justru membuat penasaran. Ada pula Sambal Setan dan Keripik Setan, yang sama-sama menekankan rasa pedas ekstrem hingga terasa "neraka" di mulut.

Di sisi lain, ada juga produk dengan label "gila." Contoh paling umum adalah Nasi Goreng Gila, menu khas Jakarta dengan porsi besar dan campuran topping melimpah yang membuatnya terasa "keterlaluan." Ada pula Bakso Gila, yang menawarkan ukuran jumbo atau isi campur-aduk tak biasa. Kata "gila" di sini bukan berarti negatif, melainkan untuk menekankan sesuatu yang "di luar kewajaran" sehingga menarik perhatian konsumen.

Dari sini terlihat pola yang jelas yaitu kata "setan" identik dengan kepedasan ekstrem, sementara "gila" identik dengan porsi berlebihan atau kombinasi tak biasa. Strategi penamaan seperti ini terbukti efektif karena menimbulkan rasa penasaran sekaligus menciptakan percakapan di kalangan pembeli.

Mungkin, nama "Beras Onta Solo" lahir dari semangat serupa yaitu mencari keunikan agar mudah diingat, meskipun asosiasinya terasa jauh dari beras.

Akhirnya, meski masih menyisakan misteri, fenomena "Beras Onta Solo" mengingatkan kita bahwa penamaan produk sering kali lebih dari sekadar label. Ia bisa mencerminkan asal usul, identitas budaya, bahkan strategi dagang yang kreatif, atau sebaliknya, bisa juga menjadi tirai penutup praktik yang tak sepenuhnya jujur.

Seperti halnya serabi yang membawa nama baik Solo hingga dikenal ke seluruh Indonesia, "Beras Onta Solo" pun membawa nama kota yang sama, tetapi dalam konteks yang jauh berbeda. Dari sini kita belajar bahwa sebuah nama bisa menjadi kebanggaan, bisa pula menjadi beban.

Hingga tulisan ini dibuat, saya belum dapat memecahkan misteri asal-usul nama "Beras Onta Solo".. Tidak ada catatan resmi, tidak ada kisah turun-temurun, tidak ada pula klarifikasi dari pemilik merek. Yang ada hanya dugaan, asumsi, dan pertanyaan terbuka.

Namun, justru di situlah letak menariknya. Di tengah banjir informasi digital, masih ada hal-hal sederhana dari kehidupan sehari-hari, seperti nama sebuah beras, yang mampu membuat kita berhenti sejenak, bertanya-tanya, dan menyadari betapa kaya dan uniknya dunia perdagangan di negeri ini.

Siapa tahu, suatu hari nanti, kita akan menemukan jawaban yang lebih jelas. Atau mungkin, misteri itu memang sengaja dibiarkan menggantung, sebagai bumbu kehidupan pasar tradisional yang tak pernah kehilangan cerita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun