Sabtu (7/6/2025), menjelang tengah hari, puluhan warga Indonesia berkumpul di Jalan Kelapa, tidak jauh dari kawasan Bandar Tawau. Mereka berkumpul untuk melakukan penyembelihan hewan kurban berupa 2 ekor sapi. Seekor sapi berasal dari Kepala Perwakilan dan Staf Konsulat RI, sedangkan seekor lainnya berasal dari Hamba Allah yang tidak ingin disebutkan namanya.
Usai penyembelihan dan di tengah proses pemotongan daging kurban oleh panitia kurban, Â saya berbincang-bincang santai dengan Sarmo, seorang pria berusia 67 tahun, berkulit legam, rambut memutih dan saat tersenyum lebar terlihat bagian giginya yang ompong. Â Sarmo ini adalah salah seorang warga Indonesia yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di negeri seberang, di Tawau, Sabah.Â
"Saya ke Tawau diajak teman dan sempat diperdagangkan ke sana kemari," kisah Sarmo sambil menyeruput kopi hangat dari gelas kaca. Tak ada getir dalam suaranya, hanya kilas balik seorang pejuang kehidupan yang sudah terlalu kenyang dengan asam garam nasib.
Sarmo datang ke Tawau dari kampung halamannya di Bojonegoro  pada usia 22 tahun, di awal tahun 80-an. Jadi kalau mau dihitung-hitung dari usianya sekarang ini (67 tahun) maka ia telah tinggal di Tawau selama 55 tahun.Â
Ia mengaku pernah "dijual" dari satu majikan ke majikan lain, berpindah-pindah kerja tanpa dokumen yang sah. Namun, pada akhirnya ia menemukan tempat menetap di sebuah perkebunan sawit yang memperlakukannya dengan lebih manusiawi.
"Setelah beberapa waktu kerja di kebun sawit, saya ikut bantu teman ngurus dokumen di kantor perwakilan RI, sebelum jadi konsulat seperti sekarang," ungkapnya. Di sinilah ia mulai akrab dengan dunia kekonsuleran, meski hanya dari sisi luar jendela: membantu mencarikan informasi, menerjemahkan bahasa, atau sekadar mendampingi kawan sebangsanya yang bingung urus paspor dan legalitas.
Kini, di usia senjanya, Sarmo bukan lagi pekerja kebun. Ia menjadi pengusaha kecil - penjual pentol, sejenis bakso khas Jawa Timur yang dibuat dari campuran daging dan tepung tapioka, berbentuk bulat kecil dan biasa disajikan dengan saus kacang atau sambal pedas.
"Sehari bisa habis rata-rata sekitar 100 kilo gram pentol. Sebagian besar pesanan online. Pesanan bukan hanya dari Tawau, banyak pula dari kota-kota lain seperti Sandakan, Kunak, Lahad Datu dan Semporna," katanya bangga
"Jualan pentol pakai aplikasi online?" tanya saya
Sarmo tertawa renyah. "Saya enggak tahu. Saya hanya membuat pentol, membungkusnya dengan kantong plastik sesuai pesanan. Pengiriman diurus anak saya. Pembeli memesan pentol lewat WA dan dibayar saat pentol diterima."