Kedua orang frater tersebut berada di pondok pesantren sebagai bagian dari kerjasama antara Pondok Pesantren Walisongo dan  konggregasi Serikat Sabda Allah - Societas Verbi Devini (SVD) yang sudah berlangsung sejak masa awal pendirian pondok pesantren. Mereka mengajar musik, bahasa Inggris dan komputer.
Bukan hanya menjadi guru, seperti dikatakan pengasuh pondok pesantren Siti Halimatus Saidayah atau oleh para santri biasa dipanggil Ibu Nona, Frater yang mondok di pesantren tersebut juga diberi tanggung jawab untuk mengurus asrama dan mendampingi anak-anak belajar, termasuk membangunkan santri untuk sholat Subuh.
"Benar sekali, setiap pagi, bersama para santri lain saya ikut membantu membangunkan para santri dan penghuni asrama untuk melakukan sholat Subuh.Â
Setelah itu saya kembali sejenak ke SVD untuk melakukan pelayanan Jemaah, baru kembali ke pondok untuk mengajar dan membantu pengurusan lainnya di pondok, termasuk belanja ke pasar untuk membeli bahan makanan pokok untuk konsumsi di pondok," ujar Frater Morgan salah seorang frater yang mondok di Pesantren,
"Para Frater tersebut kami 'magangkan' di pondok pesantren agar mereka bisa belajar mengenai Islam yang sesungguhnya, bukan Islam seperti yang sering muncul di media sosial.Â
Sehingga saat mereka nanti menjalankan penugasan gereja ke berbagai tempat, termasuk ke luar negeri, mereka bisa menjelaskan mengenai Islam yang yang ramah, bukan Islam yang marah," ujar Romo Lukas Aja, pimpinan SVD Ende.
Dari penuturan di atas, terlihat bahwa kerukunan antar umat beragama di pondok pesantren ini sejatinya telah terjalin dengan baik sejak lama. Tidak ada pertentangan antar agama karena kuatnya sikap toleransi antar warga Muslim dan Katholik.Â
Mereka hidup rukun dan harmonis meski memiliki keyakinan agama yang berbeda. Dan malam itu keharmonisan di pondok pesantren diperlihatkan dengan apik antara lain lewat tembang "Zaenudin Nachiro" dan "Ya Maulana" yang dibawakan para santriwati dan diiringi petikan gitar Frater Morgan.

"Pesantren Walisongo didirikan Abah (Alm. K.H Mahmud EK) di atas tanah seluas 3 hektar pada sekitar akhir tahun 1980an, antara lain berkat bantuan Kakak Taufik (Razen).Â
Sejak awal berupaya membangun sikap toleran dan gotong royong kepada sekitar 200-an anak asuhnya, yang sebagian besar di antaranya merupakan anak-anak terlantar dan tidak mampu. Bahkan banyak di antaranya tidak mengenal siapa orang tuanya," papar Ibu Nona.Â