Intervensi militer kerap memicu kontroversi, apalagi jika dilakukan atas nama "kemanusiaan". Dua contoh paling menonjol adalah intervensi NATO di Kosovo (1999) dan Libya (2011). Keduanya diklaim sebagai bentuk humanitarian intervention, yaitu intervensi yang bertujuan melindungi warga sipil dari kekerasan masif. Namun, benarkah intervensi ini murni untuk kemanusiaan? Dan bagaimana prinsip Responsibility to Protect (R2P) melihatnya?
Pengertian Humanitarian Intervention dan R2P
Humanitarian intervention adalah tindakan negara atau organisasi internasional untuk campur tangan biasanya secara militer dalam negara lain demi menghentikan pelanggaran HAM berat seperti genosida atau kejahatan perang.
Namun, istilah ini dulunya tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan sering disalahgunakan. Maka, lahirlah prinsip Responsibility to Protect (R2P) pada 2005. R2P menyatakan bahwa setiap negara bertanggung jawab melindungi penduduknya dari kejahatan serius. Bila negara gagal, maka komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk bertindak. dengan cara damai dulu, baru militer sebagai upaya terakhir.
Kosovo 1999: Intervensi Tanpa Mandat Resmi Namun Berlandaskan Pertimbangan Moral
Di Kosovo, militer Serbia melakukan penindasan brutal terhadap etnis Albania. NATO pun melancarkan serangan udara selama 78 hari ke Yugoslavia, tanpa mandat Dewan Keamanan PBB. Secara hukum internasional, ini ilegal. Tapi secara moral, banyak pihak menilai NATO melakukan hal yang benar untuk menghentikan kekerasan.
Meski R2P belum ada saat itu, intervensi Kosovo sering disebut sebagai "pendahulu" gagasan R2P---membuktikan bahwa dunia internasional bisa bertindak walau tanpa restu PBB, jika menghadapi krisis kemanusiaan besar.
Libya 2011: Implementasi R2P yang Sah Secara Hukum, Namun Menyisakan Konsekuensi Serius
Pada 2011, rakyat Libya bangkit melawan rezim Muammar Gaddafi. Pemerintah merespons dengan kekerasan brutal. Kali ini, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 yang memberi mandat untuk melindungi warga sipil mengizinkan zona larangan terbang dan "segala tindakan yang diperlukan".
Ini menjadi momen pertama prinsip R2P diterapkan secara resmi. Namun, yang terjadi kemudian mengecewakan banyak pihak. NATO dianggap melampaui mandat dengan menggulingkan rezim Gaddafi, bukan hanya melindungi warga sipil. Akibatnya, Libya terjerumus ke dalam kekacauan dan perang sipil yang belum berakhir hingga kini.
Intervensi di Kosovo dan Libya menunjukkan dua sisi dari koin yang sama. Di satu sisi, keduanya menggambarkan pentingnya tindakan internasional untuk mencegah kejahatan kemanusiaan. Di sisi lain, keduanya juga memperlihatkan betapa rapuhnya batas antara kepentingan kemanusiaan dan politik. Prinsip R2P hadir untuk mengatur agar intervensi tidak sembarangan, dengan syarat: niat tulus, sebagai langkah terakhir, dan dengan cara proporsional. Tapi implementasi di lapangan tetap rawan bias kepentingan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI