Mohon tunggu...
MUHAMMAD ARIQ MUSTHOFA
MUHAMMAD ARIQ MUSTHOFA Mohon Tunggu... Mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

Pendidikan dan Kesehatan Mental

Selanjutnya

Tutup

Seni

Kuda Renggong sebagai Simbol Metafisika Seni Budaya Sumedang

12 Juni 2025   00:17 Diperbarui: 12 Juni 2025   00:17 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Metafisika Kuda Renggong. Karya Taris B./Mahasiswa Seni Rupa UPI

Kuda Renggong, kesenian tradisional khas Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, tidak sekadar memukau lewat atraksi kuda “menari” mengikuti irama musik; ia juga mengandung nilai-nilai mendalam yang merekatkan masyarakat dengan warisan budaya mereka. Pendekatan kualitatif dalam studi kasus di Sumedang menunjukkan bahwa Kuda Renggong memuat nilai spiritual, religius, teatrikal, estetika, serta kerja sama dan ketekunan yang secara tak langsung membentuk karakter sosial Masyarakat (Gustianingrum & Affandi, 2016). Selain itu, kesenian ini juga menyimpan nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, kesabaran, dan keramahan sebagai inti dari kearifan lokal yang terus diwariskan. Lebih dari fungsi estetis, Kuda Renggong juga berperan sebagai wadah pembentukan budaya kewargaan—melalui praktik musyawarah, partisipasi kolaboratif, dan penghormatan terhadap aturan bersama, ia menumbuhkan solidaritas dan toleransi dalam kehidupan Masyarakat. Di era modern, tradisi ini tidak hanya dipertunjukkan pada upacara adat seperti sunatan, tetapi juga menjadi daya tarik dalam acara pariwisata, meski transformasi ini menuntut adaptasi agar nilai-nilai sakralnya tetap terjaga.

Dalam karya “Metafisika Kuda Renggong” hadir sosok kuda yang dihias gemerlap dengan kain tradisional Sunda, manik-manik, serta aksen warna-warna bumi seperti coklat, emas, dan hijau. Visualisasi ini bukan sekadar menangkap keindahan fisik, melainkan mengalirkan "linimasa" simbolis yang menghubungkan dimensi masa lalu, kini, dan masa depan. Sejalan dengan pandangan filosofis yang dikemukakan dalam kajian “Metafisika Kuda Renggong”, kuda dalam karya ini tampil sebagai entitas metafisis—lambang dari keberanian, keanggunan, dan keindahan, sekaligus menjadi medium perjalanan spiritual masyarakat Sunda. 

Setiap elemen visual dalam karya seni ini memuat lapisan makna. Pola geometris tradisional Sunda seperti kawung dan parang mengandung filosofi keselarasan antara manusia dan alam, sementara gerakan dinamis penari cilik yang kerap dihadirkan menjadi representasi kehalusan spiritual yang menyatu dengan kekuatan fisik kuda. Gustianingrum & Affandi (2016) menyebutkan bahwa Kuda Renggong tidak hanya mengandung nilai estetika, tetapi juga merepresentasikan kearifan lokal yang sarat nilai sosial, spiritual, dan religius dalam kehidupan masyarakat Sumedang.

Pengolahan visual modern dalam seni rupa kontemporer sering menghadirkan metafora "waktu yang mengalir" melalui sapuan kuas abstrak, gradasi warna yang berlapis, atau permainan instalasi multimedia yang dinamis. Teknik ini menegaskan gagasan tentang keabadian dan perubahan yang menjadi inti dari filosofi Kuda Renggong, sebagaimana dipaparkan pula oleh Supriatna (2014) bahwa dalam praktik seni kontemporer, pengolahan simbol-simbol lokal seperti Kuda Renggong menjadi upaya penting untuk merawat memori kolektif sekaligus menghadirkannya ke dalam konteks kekinian.

Dengan demikian, pengangkatan Kuda Renggong dalam karya seni rupa tidak hanya berfungsi sebagai estetika visual, tetapi juga sebagai ruang kontemplatif yang menghidupkan kembali identitas budaya lokal di tengah arus globalisasi. Karya seni ini menjadi pengingat bahwa tradisi bukan sekadar masa lalu, melainkan fondasi hidup yang terus berdialog dengan masa kini dan masa depan.

Representasi visual Kuda Renggong dalam seni rupa kontemporer menciptakan dialektika estetis yang kaya dan multidimensional melalui empat elemen utama yang saling berkelindan. Pertama, keseimbangan dinamis yang muncul dari oposisi biner antara kekuatan dan kelembutan. Sosok kuda yang gagah, berotot, dan penuh energi menjadi simbol kekuatan fisik, sementara keluwesan tubuh penari cilik yang menari di atas punggungnya melambangkan kelembutan spiritual. Kontras ini terartikulasikan secara visual melalui permainan garis: garis tegas dan tajam yang mewakili ketegasan kuda dipadukan dengan kurva organik, mengalir, dan fleksibel yang mencitrakan keanggunan gerakan penari. Konsep ini mencerminkan filosofi dualitas dalam budaya Sunda, yakni kesatuan antara rasa dan karsa, antara dunia material dan spiritual, sebuah bentuk harmoni kosmis sebagaimana dipahami dalam kosmologi lokal.

Kedua, palet simbolis yang digunakan tidak sekadar berfungsi dekoratif, tetapi mengonstruksi narasi ekosistem budaya yang dalam. Warna hijau lumut mengimplikasikan kesuburan dan keterhubungan manusia dengan alam; cokelat tanah menegaskan daya tahan dan keteguhan akar budaya; sementara emas mengangkat dimensi transendensi spiritual, mengisyaratkan hubungan manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi. Dalam beberapa karya tradisional, penggunaan pigmen alami seperti sari daun tarum (nila), tanah mineral, dan batu alam memperdalam afiliasi ekologis antara manusia dan lingkungan. Pilihan bahan ini bukan hanya menunjukkan teknik artistik, tetapi juga menyampaikan etos pelestarian lingkungan sebagai bagian dari prinsip tri tangtu di bumi dalam ajaran Sunda: harmoni antara leuweung (hutan), sawah (lahan subur), dan gunung (kekuatan spiritual).

Ketiga, ritme visual dibangun melalui repetisi motif geometris khas Sunda yang sarat makna filosofis. Motif kawung, menyerupai irisan buah aren, melambangkan kesempurnaan dan siklus hidup yang terus berulang. Motif parang rusak, yang menyerupai ombak terpecah, mencerminkan kekuatan yang terus bergerak dan dinamis, tetapi tetap terkendali. Ritme ini diperkaya oleh ilusi gerak dalam sapuan kuas ekspresif, permainan cahaya dalam instalasi multimedia, atau bahkan dalam karya kinetik yang literal. Melalui pendekatan ini, karya seni berbasis Kuda Renggong menjadi narasi visual tentang linimasa budaya: bagaimana tradisi terus mengalir, bertransformasi, namun tetap menjaga akar identitasnya di tengah derasnya arus modernitas.

Keempat, tekstur dan ruang dalam karya seni rupa Kuda Renggong berfungsi sebagai ruang perenungan metafisik yang membawa penikmat seni ke dalam lapisan-lapisan memori kolektif. Penggunaan teknik impasto dengan lapisan cat tebal memberikan dimensi taktil yang menyerupai stratifikasi waktu. Anyaman bambu, kayu jati tua, atau kolase kain tenun Sunda yang mulai lapuk tidak sekadar menjadi media material, melainkan juga metafora dari rentang waktu yang berlapis: masa lampau yang tak pernah sepenuhnya hilang, melainkan terus hidup dalam narasi budaya kontemporer. Setiap lapisan, setiap serat bahan, adalah representasi dari jejak sejarah sosial, spiritual, dan estetika masyarakat Sunda yang kaya. Dengan demikian, representasi Kuda Renggong dalam seni rupa kontemporer tak sekadar menghidupkan kembali artefak tradisi, melainkan juga mengaktualisasikan kearifan lokal sebagai narasi visual yang reflektif, relevan, dan berdaya gugah di era globalisasi.

Secara psikologis, Kuda Renggong beroperasi sebagai cultural archetype yang memenuhi spektrum kebutuhan psikis manusia dalam kerangka budaya Sunda yang terus beradaptasi di tengah tantangan zaman. Kehadirannya melampaui sekadar ikon estetika, melainkan menjadi instrumen pemulihan, penguatan, dan reintegrasi identitas kultural dalam lanskap global yang fluktuatif. Pertama, sebagai anjak psikologis resiliensi budaya, representasi Kuda Renggong memproyeksikan ketangguhan kolektif masyarakat Sunda dalam menghadapi guncangan sosial budaya modernitas. Sosok kuda yang tegak, kokoh, dan penuh tenaga pada karya seni berfungsi sebagai simbol proyeksi kekuatan adaptif yang lentur namun berakar kuat. banyak mitos Nusantara, hewan sering kali diposisikan sebagai projective device bagi komunitas untuk mencerminkan kapasitas adaptasi mentalnya. Dalam hal ini, kuda merepresentasikan kemampuan beradaptasi secara mental dan kultural tanpa mengalami disorientasi identitas. Keteguhan visual kuda dalam karya seni menjadi metafora internalisasi collective self-efficacy masyarakat Sunda, memperlihatkan bahwa mereka mampu tetap berdiri tegak meskipun diterpa modernitas yang disruptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun