Tragedi ambruknya bangunan tiga lantai Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo pada 29 September 2025 meninggalkan duka mendalam. Ratusan santri yang tengah melaksanakan salat Asar terjebak reruntuhan. Di tengah upaya penyelamatan, muncul fakta yang tidak bisa diabaikan, bangunan itu diduga tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), perencanaan teknisnya lemah, dan ada dugaan kelalaian dari pihak ponpes maupun kontraktor.
Pengasuh pondok, KHR Abdus Salam Mujib, menyampaikan bahwa peristiwa ini adalah takdir Allah. Pernyataan ini memang mengandung nilai spiritual, namun bagi masyarakat umum, ungkapan tersebut berpotensi menimbulkan kesan bahwa tanggung jawab manusia atas keselamatan orang lain dapat diabaikan. Hal seperti ini dapat menjadi dampak negatif yang merusak nama baik pondok pesantren di masyarakat umum. Dalam konteks hukum, pernyataan "ini takdir" tidak membebaskan pihak ponpes dari tanggung jawab atas kelalaian yang mungkin terjadi.
Dari sisi hukum, KUHPerdata Pasal 1369 menegaskan bahwa pemilik atau pengguna bangunan bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat kelalaian dalam pemeliharaan atau konstruksi. Sementara itu, Pasal 46 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja, memberikan sanksi pidana bagi pemilik atau pengguna bangunan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Dalam kasus Ponpes Al-Khoziny, dengan adanya korban jiwa, pasal ini menjadi relevan untuk diterapkan.
Penerapan sanksi pidana terhadap pengasuh atau pemilik Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo tidak bersifat otomatis. Semua tindakan hukum harus didasarkan pada hasil penyelidikan kepolisian, bukti teknis dari ahli konstruksi, dan pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, setiap langkah hukum perlu dilakukan secara cermat dan profesional, agar sesuai dengan fakta dan ketentuan perundang-undangan.
Lebih dari sekadar tuntutan hukum, tragedi ini seharusnya menjadi pembelajaran. Setiap pengasuh pondok pesantren perlu menyadari bahwa pembangunan dan pengembangan fasilitas pendidikan bukan hanya soal menampung lebih banyak santri. Kualitas bangunan, standar keselamatan, dan perencanaan teknis harus menjadi prioritas utama. Bekerja sama dengan kontraktor profesional dan ahli teknik sipil bukanlah pemborosan, melainkan investasi nyawa.
Selain itu, peran pengasuh juga penting dalam membangun kesadaran santri tentang keselamatan. Pendidikan karakter dalam pondok pesantren seharusnya selaras dengan keselamatan fisik lingkungan belajar. Evakuasi darurat, prosedur keselamatan, dan pemeliharaan fasilitas harus menjadi bagian dari budaya pondok pesantren.
Musibah Ponpes Al-Khoziny adalah peringatan keras, takdir memang bagian dari kehidupan, namun kelalaian manusia dapat berujung tragis. Masyarakat, pengasuh, dan pihak berwenang harus bersinergi untuk memastikan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi pusat ilmu dan iman, tetapi juga tempat yang aman bagi para santri.
Tragedi ini bukan sekadar berita pilu, ini adalah panggilan bagi setiap pengelola pondok untuk menegakkan tanggung jawab moral, hukum, dan profesional. Karena pada akhirnya, keselamatan santri adalah amanah yang tak bisa diabaikan, dan kesalahan manusia tidak bisa disembunyikan di balik kata "takdir".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI