Tempat ini memang lebih dari sekadar situs religi. Ia menjadi tempat bertemunya ragam motivasi manusia: yang mencari pahala, yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, yang mengejar cerita sejarah, atau yang sekadar mencari ketenangan dari riuhnya dunia. Setiap orang punya alasan masing-masing, namun semuanya disatukan oleh satu hal: rasa hormat pada jejak langkah seorang ulama besar yang telah membawa cahaya ke negeri ini.
Perjalanan turun dari puncak justru menjadi bagian paling berat bagi saya. Kaki terasa lemas, gemetar, dan nyeri tak tertahankan. Empat lembar koyo ludes malam itu. Meskipun melelahkan, saya merasa perjalanan ini sangat layak untuk dilakukan. Ini bukan hanya tentang berziarah ke makam seorang tokoh besar, tapi juga tentang menyadari betapa panjang dan beratnya perjalanan orang-orang dahulu dalam menyebarkan ajaran kebenaran, tanpa fasilitas, tanpa kemudahan, hanya berbekal tekad, ilmu, dan iman.
Petilasan Syeikh Jumadil Qubro di Bukit Turgo bukan hanya jejak sejarah, tapi juga cermin bagi kita hari ini. Di sana kita belajar tentang keteguhan, keikhlasan, dan kesabaran. Tentang betapa Islam di Nusantara tumbuh bukan dengan kekerasan, melainkan dengan cinta dan kebijaksanaan. Dan tentang bagaimana warisan spiritual bisa hidup ratusan tahun lamanya, terus dikunjungi, dikenang, dan dihormati oleh generasi demi generasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI