Ada yang viral lagi akhir-akhir ini. Soal plat nomor. Katanya, kendaraan berplat BL dari Aceh kalau banyak beroperasi di Sumatera Utara sebaiknya diganti jadi BK. Video singkat yang menampilkan pejabat daerah menghentikan truk BL itu sudah beredar di mana-mana. Komentar netizen pun bermacam-macam, ada yang menertawakan, ada yang tersinggung, ada yang malah makin curiga, seakan-akan urusan huruf di depan kendaraan bisa menentukan siapa kita. Beberapa bulan sebelumnya kita juga sempat dihebohkan dengan urusan empat pulau yang dikira mau "ditarik" dari Aceh ke Sumatera Utara. Isu yang sudah selesai lewat keputusan pemerintah pusat, tapi tetap meninggalkan rasa sensitif di hati sebagian orang.
Saya menuliskan ini bukan untuk memperpanjang debat atau menyalahkan pejabat mana pun. Bagi saya, itu semua hanyalah lapisan luar, formalitas administratif. Plat BL atau BK hanyalah kode yang ditentukan kepolisian, sistem warisan hukum kolonial Belanda, lalu kita pakai sampai sekarang. Sama halnya dengan kode pos, sama halnya dengan nomor induk. Apakah kita mau mengukur persaudaraan hanya dari kode? Tentu tidak.
Kalau kita mau jujur pada sejarah, hubungan Aceh dan Sumatera Utara jauh lebih tua daripada "provinsi" itu sendiri. Jauh lebih kaya daripada sekadar dua huruf di plat kendaraan. Sejak abad ke-16, Kesultanan Aceh Darussalam sudah menjadi salah satu pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan Islam di Asia Tenggara. Pengaruhnya sampai ke pesisir barat dan timur Sumatra. Sementara di pedalaman, orang Batak hidup dengan adat, mengumpulkan kemenyan dan kamper untuk dijual ke pelabuhan Barus. Di sepanjang pantai, orang Melayu, Mandailing, hingga Gayo hidup dalam jaringan dagang yang sama. Mereka saling bertemu, menikah, berpantun, bernyanyi, berdagang, dan berselisih lalu berdamai lagi. Inilah mozaik Sumatra yang tidak bisa dipotong hanya dengan garis administratif modern.
Kalau bicara budaya, Aceh punya rapa'i, saman, seudati, serune kalee. Batak punya gondang sabangunan, taganing, ulos, tortor. Pesisir barat dari Aceh sampai ke Sibolga punya lagu sikambang yang dimainkan dengan biola Portugis, gendang, dan tarian payung atau lilin. Semua itu menunjukkan bahwa leluhur kita sudah saling silang, saling serap, saling pengaruh. Bahkan ketika Aceh dulu dipaksa berperang melawan Belanda selama puluhan tahun, budaya tetap hidup. Bahkan setelah Aceh dilanda tsunami dahsyat 2004, masyarakat justru bangkit dengan tarian dan nyanyian baru. Itu bukti bahwa kebersamaan, seni, dan gotong royong lebih kuat daripada luka.
Lalu mengapa kita harus pusing dengan plat nomor? Mungkin karena kita masih sering membaca simbol administratif sebagai simbol identitas. Karena ada sejarah panjang konflik dan luka yang membuat kita lebih cepat tersinggung. Karena ada kepentingan pajak daerah yang bisa memicu persaingan. Dan tentu saja karena komunikasi para pemimpin kita sering kali terbatas pada kalimat singkat yang bisa dipotong di media sosial. Dari sana lahirlah drama, lahir asumsi, lahir kecurigaan.
Tapi kalau kita tarik napas sebentar, kita bisa lihat betapa rapuhnya alasan itu dibandingkan dengan betapa kuatnya persaudaraan kita sebagai sesama penghuni bumi Sumatra. Leluhur kita sudah meninggalkan jejak peradaban besar. Dari kesultanan maritim yang mendunia, sampai tradisi adat yang mengajarkan kita berbagi nasi dan lauk di sepiring bersama. Dari pantun Melayu yang berbalas syair dalam pesta, sampai doa bersama yang merayakan kehidupan dan kematian. Dari solidaritas saat tsunami, sampai gotong royong setiap kali panen. Semua itu jelas lebih agung daripada huruf-huruf di besi kendaraan.
Saya percaya, yang lebih penting bukan bagaimana kita melihat perbedaan administratif, tetapi bagaimana kita menumbuhkan sikap yang lebih dewasa. Kalau ada pejabat bicara soal plat nomor, ya biarlah itu jadi diskusi teknis. Kita sebagai masyarakat tidak perlu terhanyut, apalagi sampai menganggapnya sebagai penghinaan. Kita bisa menanggapi dengan senyum: "Plat hanyalah plat, yang penting kita tetap bersaudara."