Kalau ada yang tanya apa pekerjaan penulis, tinggal jawab yang menulis. Kebanyakkan dari masyarakat salah kaprah dalam memahami definisi. Sekecil apapun, meskipun hari ini tidak sedikit pula yang merasa harus peduli pada definisi. Tulisan ini dibuat beberapa menit menjelang adzan Isya' dikumandangkan.Â
Orang-orang harusnya memahami bahwa pekerjaan DPR sebenarnya masih berada dalam satu rumpun kesusasteraan yaitu kepenulisan. Cuma karyanya tidak melulu bagus. Sialnya lagi ketika karyanya itu sudah tergolong tidak bagus dan baik untuk dibaca malahan DPR ini ngotot untuk membuat karya yang baru.Â
Tapi ya sudahlah ya, DPR kan juga manusia. Kita harus bisa mafhum sesama manusia. Semisal hidup adalah simulasi dan kebetulan DPR adalah salah satu tokoh pewaris dengan keterampilan lebih. Harusnya tidak menyimpang. Yang boleh menyimpang itu cuma masyarakat dan saya.
Selain beberapa hal diatas RUU PKS juga sedang hangat diperbincangkan ngalor ngidul oleh orang-orang yang tidak memiliki kewenangan khusus dibidangnya. Tapi saran apapun itu masih tergolong bagus. Terlepas dari membangun atau tidaknya. DPR sudah semestinya bersikap professional dan open minded kata seorang millenial.
Kembali pada urgensi RUU PKS yang terombang-ambing tidak jelas dan pembahasannya yang terlalu muluk-muluk hingga saat ini tidak menemui titik terang. Jika pemerintah tidak memprioritaskan dalam proglenas, apa kabar dengan kemaslahatan rakyat. Saya tidak muluk-muluk dalam berbicara apalagi ketika bicara soal kebijakan-kebijakan pemerintah yang memang ditakdirkan berada pada jalur ke-nyelenehan.
Tapi anggap saja saya ini orang yang tidak jelas, dan asumsi saya tidak valid. Apalagi untuk dijadikan panutan. Sebelumnya saya akan membahas secara singkat kelucuan-kelucuan dari RUU PKS yang hingga hari ini menambah daftar anomali perilaku pemerintah.Â
Hingga hari ini tercata menurut data Kompas.com angka kekerasan seksual mencapai angka 2.988 kasus. Umumnya kasus seperti itu terjadi di kota-kota besar. Yang menjadi kelucuannya adalah untuk rentang kota yang tergolong besar dan angka masyarakatnya yang tinggi saja masih terjadi kekerasan seksual, lalu bagaimana nasib kota-kota dan wilayah yang jauh dari akses perkotaan.Â
Budaya yang mendampingi kita dalam sehari-hari adalah biangnya. Stigma dan paradigma sosial membuat peristiwa tidak senonoh menjadi wajar dengan keputusan secara kekeluargaan. Memang mau bagaimana lagi dewan perwakilan rakyat saja secara tidak langsung mengamini tindakan-tindakan tersebut. Rakyat memangnya bisa apa selain menunggu keputusan. Semoga orang-orang yang mendapat amanat dari rakyat tidak sedang bersantai ria dan bermain wanita.
Baca Artikel Lainnya Dengan Kolom Serupa :